Arti dan Ciri-Ciri Dosen Killer serta Cara Cegah Dosen Killer

Baru-baru ini, langkah Universitas Gadjah Mada mencegah adanya dosen killer menarik perhatian publik. Apa arti dosen killer? Apa ciri-ciri dosen killer? Dosen killer adalah dosen yang gemar menggunakan kekerasan verbal dan kekerasan psikologis terhadap mahasiswa (Kompas.com, 31/10).

Bukan rahasia lagi, segelintir guru dan dosen bersikap angkuh dan intimidatif dalam relasi dengan mahasiswa, staf pendidikan, dan orang tua siswa. Pribadi yang terlampau perfeksionis bisa menjadi sosok tak ramah pada anak didik. Bisa jadi, oknum pengajar bersikap killer untuk menutupi ketidakmampuannya membangun dialog humanis dan egaliter dengan orang lain.

Sama halnya, dosen yang (sok) sibuk dan malah berasyik-masyuk dengan proyek (pribadi) sampai-sampai sulit dihubungi mahasiswa termasuk dalam kategori dosen yang perlu introspeksi. Demikian pula pengajar yang justru menikmati ketimpangan relasi kuasa dengan mahasiswanya. Lebih parah lagi ketika ketimpangan kuasa itu disalahgunakan hingga berujung pelecehan.

Atribut killer (pembunuh) yang disematkan pada dosen sejatinya sangat bertolak belakang dengan marwah sosok pendidik. Ki Hadjar Dewantara dan R.M.P Sosrokartono menandaskan, pendidik di depan memberi teladan, di tengah menyemangati, dan di belakang mendorong. Inilah semangat ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Pencegahan dosen killer ini bertujuan menciptakan kampus aman, nyaman dan ramah bagi seluruh warganya. Salah satu pilarnya ialah dosen yang cerdas dan humanis. Dosen perlu memiliki kepedulian pada mahasiswa sebagai sesama insan cendekia. Lebih lagi, komitmen dosen terhadap prestasi akademik mahasiswa berpengaruh terhadap kebahagiaan mahasiswa (Nastiti, 2015).

Pentingnya Seleksi
Menjadi guru dan dosen berarti memenuhi tuntutan profesionalitas. Dalam proses belajar mengajar, Harden & Crosby (2000) menyebutkan enam peran utama pendidik, yakni sebagai fasilitator, panutan, penyedia informasi, pengembang sumber daya, penyelenggara pembelajaran, dan penilai siswa dan kurikulum.

Pendidik tidak boleh berpuas menjadi sekadar good teacher, tetapi perlu melangkah menjadi professional teacher. Seorang pendidik profesional memiliki interaksi yang baik dengan mahasiswa dan orang tua, mencatat perkembangan siswa, dan menyadari pentingnya pengembangan diri (Creasy, 2015).

Menilik tuntutan tinggi tersebut, seperti halnya dalam profesi lain, menjadi dosen mengandaikan kualitas pribadi tertentu. Bukan hanya mutu akademik, namun juga kualitas kepribadian calon dosen. Karena itu, pentingnya seleksi komprehensif bagi calon pengajar menjadi sebuah keniscayaan.

Proses seleksi calon pengajar yang terukur dan transparan akan dapat menghasilkan pendidik yang kompeten. Kriteria penyaringan pendidik semestinya mencakup kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Seleksi calon pendidik sebaiknya mencakup psikotes menyeluruh, bukan berfokus pada gelar akademik belaka.

Psikotes yang komprehensif akan membantu lembaga pendidikan mengenali karakter dasariah calon pengajar, termasuk kecenderungan negatif yang menjadi bibit sikap kurang empatik. Pengajar pun terbantu mengenali dan mengevaluasi diri sendiri agar tidak malah menjadi sosok menyeramkan bagi anak didik dan mitra.

Pedagogi Sejati
Menghadirkan pengajar yang sungguh pedagog adalah bagian penting dalam proses pendidikan. Pedagog dalam bahasa Yunani berasal dari kata paidagogeo atau pembimbing anak. Dalam konteks kiwari, kita merindukan pedagog sejati yang mendidik dengan hati.

Guna membentuk karakter pedagog sejati, evaluasi dan pembinaan pendidik menjadi harga mati. Masukan konstruktif dari mahasiswa, rekan dosen, dan staf hendaknya dijaring dalam evaluasi rutin bagi pendidik. Bukankah salah satu tanda insan mulia adalah kerendahan hati untuk memperbaiki diri?

Kita bersyukur, sejumlah perguruan tinggi telah memiliki program pendampingan dosen agar menjadi pribadi paramarta. Pembinaan kerohanian, psikologis, dan intelektual perlu dipadukan demi menciptakan pengajar berkarakter unggul.

Pendidik juga memerankan peran sebagai perpanjangan tangan orang tua dalam lingkup akademik. Guru dan dosen hendaknya bersikap kebapakan dan keibuan layaknya orang tua bagi anak didik. Sungguh, nilai-nilai kebapaan dan keibuan sangat penting dalam dunia profesional (Stellner, 2021).

Tanpa sikap killer, kita mengharapkan pembelajaran menjadi nyaman dan konstruktif bagi tunas muda harapan bangsa. Semoga!

Bobby Steven
Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma

Tulisan pendapat pribadi yang tidak mewakili lembaga mana pun.

Facebook Comments