Saat masih remaja, salah satu idola saya adalah BJ. Habibie. Tokoh dirgantara yang tenar sebagai pencipta pesawat buatan Indonesia dengan teknologi yang ia pelajari dari Jerman.
Saya tak mengira bahwa perjalanan hidup saya akan mengantar saya ke Jerman, negeri di mana sang idola saya, BJ. Habibie, pernah menimba ilmu.
Kesempatan untuk belajar Bahasa Jerman di Bonn saya dapatkan melalui beasiswa yang ditawarkan kampus saya di Roma pada tahun 2014 lalu. Saya diberi kesempatan untuk mengikuti kursus level dasar Bahasa Jerman di Kreuzberg Bonn-Sprachinstitut dari 1 Juli sampai 30 Agustus 2014.
Selama kursus, saya tinggal di asrama yang dikelola para suster di Stationsweg 21, Bonn. Sebuah asrama yang amat nyaman dan hijau. Saya senang sekali bisa berteman dengan teman-teman mahasiswa dari seluruh dunia. Seingat saya, ada mahasiswa dari Indonesia, Israel, Venezuela, Meksiko, Argentina, Filipina, dan Tonga yang belajar bahasa Jerman di Institut Kreuzberg Bonn.
Kami cepat akrab. Bersama teman-teman pria, saya bermain sepak bola di lapangan kecil di dalam asrama. Di akhir pekan, kami adakan pesta kebun. Teman-teman mahasiswi dari Amerika Latin mengajak saya yang tak biasa menari untuk berdansa. Meskipun badan kaku seperti kayu, saya iyakan saja ajakan mereka. Suasana cair tercipta di antara kami yang berbeda bangsa dan budaya.
Tiap hari saya berjalan kaki melintasi Poppelsdorfer Friedhoff untuk menuju ke tempat kursus di pusat kota Bonn. Apa itu Poppelsdorfer Friedhoff? Sebuah makam! Akan tetapi, lain sekali dengan makam di pedesaan Indonesia yang biasanya seram, Poppelsdorfer Friedhoff justru makam yang membuat siapa pun senang melewatinya. Ya, makam di Jerman rapi dan hijau sehingga nyaman bukan hanya bagi orang yang sudah meninggal, tapi juga bagi orang yang masih hidup.
Bahasa Jerman bukan bahasa yang sederhana untuk dipelajari. Saya harus bekerja keras menghafalkan genus dari tiap kata bahasa Jerman yang saya pelajari. Syukurlah, dosen saya penyabar dan mahir membimbing para mahasiswanya. Namanya Peter Schaarschmidt. Ia juga suka bercerita tentang hal-hal remeh di luar materi kursus sehingga suasana belajar tidak membosankan.
Di akhir pekan, saya memiliki banyak kesempatan untuk menikmati keindahan Bonn. Salah satu tujuan favorit saya adalah “Botanische Gärten” milik Universitas Bonn. Kebun botani itu memiliki koleksi tanaman dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia.
Foto: Botanische Gärten di Universitas Bonn (29/8/2014) oleh Bobby Steven
Saya sempat melihat tanaman serai dan sejumlah tanaman obat Indonesia di kebun yang terawat dengan baik itu. Ada taman kaktus dengan koleksi kaktus yang unik. Juga ada rumah kaca di mana saya bisa menikmati kesejukan ala hutan tropis. Di rumah kaca itu ada pula iguana yang membuat pengunjung betah berlama-lama menikmati pesona ciptaan Tuhan.
Keindahan Sungai Rhein tak bisa saya lewatkan. Suatu hari saya naik kapal wisata yang mengarungi sungai yang bersih itu. Di tepi sungai, bermekaran aneka bunga musim panas yang indah. Panorama sempurna bagi saya yang memang sangat suka keindahan alam dan tanaman.
Saat senja di akhir pekan, saya berjalan-jalan ke taman-taman kota. Salah satunya terletak tak jauh dari tepian Rhein. Yang membuat saya terkejut, masih banyak kelinci liar berkeliaran di taman itu. Wah, seandainya di Indonesia, kelinci-kelinci itu pasti sudah lama berpindah ke dalam panci. Maklumlah, orang Indonesia memang pecinta kelinci, terutama dagingnya.
Salah satu pengalaman mengesan ialah saat saya melihat di tempat-tempat umum, ada lemari buku yang ramai disambangi orang, mulai dari anak sampai kakek-nenek. Namanya “Offener Bücherschrank” di dekat Universitäts und Landesbibliothek Bonn.
“Offener Bücherschrank” di dekat Universitäts und Landesbibliothek Bonn (8/7/2014) oleh Bobby Steven
Yang unik, salah satu lemari buku itu adalah bekas boks telfon umum. Daripada merobohkan boks telfon, boks itu dipakai sebagai lemari buku. Semua orang boleh pinjam gratis. Kelihatannya warga juga boleh menaruh buku untuk menambah koleksi. Minat baca dan minat berbagi ilmu masyarakat Jerman memang patut diacungi jempol. Tak heran, banyak pemikir hebat adalah orang Jerman.
Ditulis oleh seorang mahasiswa Indonesia yang pernah menjalani kursus di Bonn
Facebook Comments