Memeriksa Kembali

Diolah dari Canva

Ketika kita yakin dengan apa yang dilakukan sudah benar, takada salahnya memeriksa kembali bahwa memang benar-benar sudah tidak ada kesalahan. Bisa jadi ada setitik kesalahan yang tak kita sadari.

Pada suatu masa mungkin kita pernah melakukan satu hal dan merasa yakin tidak ada yang salah. Mungkin juga kita sampai berdebat karena memang sudah yakin melakukan hal yang benar.

Dalam hal ini pendapat orang lain ibarat sudah membentur tembok baja yang sangat kokoh. Seluruh ruang sudah dipenuhi keyakinan diri, sehingga tak ada lagi ruang sedikit pun bagi pemikiran dari sudut pandang lain.

Pernahkah mengalami hal ini sepanjang perjalanan hidup?

Saya sendiri malah sering mengalami sampai tak terhitung lagi.
Memang perlu kerendahan hati untuk memetik kembali.

Mengapa kita tidak sejenak meneliti kembali keyakinan diri ini? Bisa jadi keyakinan ini justru karena ego yang telah menguasai. Ego identik dengan ketinggian hati.

Saya menuliskan hal ini karena mengalami pengalaman-pengalaman dalam hal menulis selama ini.

Ketika hendak menerbitkan sebuah tulisan, berkali-kali saya baca sampai yakin tidak ada kesalahan lagi. Baik ejaan, titik, dan koma. Semua sudah pas. Merasa sudah layak ditayangkan.

Namun, setelah menyayangkan dan saat membaca lagi, sesekali masih menemukan kesalahan. Kadang saya tidak habis pikir. Mengapa bisa terjadi? Padahal sebelumnya sudah sangat teliti mengedit.

Begitu juga ketika membuat gambar yang disertai kata-kata kutipan. Sebelum saya kirim ke media sosial selalu saya baca pelan-pelan, agar tidak ada kesalahan.

Karena bagi saya kesalahan satu huruf saja sudah merasa tidak nyaman.

Beberapa saat setelah dikirim kadang masih saja ada kesalahan. Baik terbaca oleh saya maupun ada yang memberi tahu. Terlalu.

Misalnya “mesti” tertulis “mesri”, “mereka” jadi “merake”, “tetapi” jadi “terapi”.

Mungkin kesalahannya masih tidak terlalu fatal kesalahannya, tetap saja merasa tidak nyaman. Kadang satu huruf bisa mengubah arti yang sangat berbeda.

Dari pengalaman ini meyakinkan saya hal ini bisa terjadi juga dalam perbuatan atau perilaku sehari-hari.

Mengoreksi diri bukan hanya pada saat melakukan, tetapi setelah melakukan pun perlu untuk mengevaluasi. Tujuannya agar kesalahan demi kesalahan bisa terus diperbaiki. Jangan sampai begitu banyak jejak kesalahan yang terjadi tidak menyadari.

Dalam hal ini memang membutuhkan kerendahan hati. Karena acap kali dalam keyakinan berlebih, justru menyebabkan terjadi kesembronoan.

Kadang mungkin kita menyadari ada kesalahan yang terjadi, tetapi malah berusaha menutupi atau tidak mau mengakui. Karena tidak ada keberanian dan kerendahan hati.

Bukankah mengakui kesalahan lebih kesatria daripada mengingkari kesalahan? Pecundang. Harga diri rendah.

Itulah sebabnya para bijak selalu mengajarkan untuk setia teliti dalam melakukan hal apapun. Dengan demikian bisa menghindari kesalahan demi kesalahan yang akan menjadi jejak kehidupan.

Tanpa sadar pada suatu saat kita tidak sadar lagi begitu banyak jejak kesalahan yang ada.

Sementara adalah mustahil untuk kembali ke masa lalu untuk mengubahnya. Apa gunanya saat ini menyesali?

Jadi, dalam hal ini selalu meneliti apa yang telah dilakukan bukan sekadar basa basi, tetapi belajar menjadi manusia yang sesungguhnya kembali. Bukan manusia yang selalu berpikir bahwa berbuat salah itu manusiawi.

Bukankah hal ini justru membuat kita menciptakan jebakan untuk diri sendiri hidup dalam kesalahan?

Pilihan terbaik tentu adalah menjadi manusia sejati yang selalu sadar akan kesalahan dan berani mengubahnya.

@refleksihati, 01 Juni 2022

Facebook Comments