Hari yang cerah. Tiga sekawan Mira si kucing, Koara si koala, dan Tiara si harimau sedang berteduh di bawah naungan pepohonan. Musim kemarau panjang membuat hawa udara sangat panas.
Sawah pun mengering sehingga padi tidak tumbuh subur. Sebabnya, pada yang ditanam para petani di desa-desa sekitar hutan itu sangat tergantung pada air hujan. Dari kejauhan terdengar tangisan anak-anak desa yang merengek minta makan.
Bencana kelaparan yang tak terduga akhirnya terjadi. Padahal, selama ini penduduk desa selalu punya panen berlimpah ruah sampai mereka suka membuang-buang makanan. Mereka lupa menyimpan padi dan hasil panen di lumbung sebagai tabungan.
“Teman-teman, kemarin malam aku bertemu dengan seorang nenek yang entah datang dari mana. Si nenek bilang, ada harta karun di reruntuhan Candi Sewu,” kata Koara mengawali obrolan.
“Wow, kamu selalu lebih cepat tahu daripada kami, Koara. Ada harta karun apa di Candi Sewu?” tanya Mira sambil menggaruk-garuk lembut kepalanya dengan cakar mungilnya.
“Hmm…si nenek hanya berpesan kalau harta karun itu bisa menyelamatkan para petani dari bahaya kelaparan. Warna harta karun itu merah putih,” jelas Koara sembari menikmati dedaunan muda.
“Wah, merah putih? Apakah harta itu bendera pusaka? Tetapi bagaimana mungkin bendera bisa menyelamatkan penduduk desa dari kelaparan? Hmm, aku jadi penasaran. Kalau begitu kita harus mencari harta karun itu sampai dapat. Ayo, kawan-kawan, kita berangkat,” ajak Mira.
“Sebentar, Mira. Aku dengar di Candi Sewu ada kelompok para pencuri batu candi yang ditakuti penduduk desa. Aku takut,” keluh Koara.
“Jangan takut, Koara. Ada aku. Aku akan melindungimu dan Mira dari para pencuri batu candi itu,” celetuk Tiara si harimau pemberani.
“Baiklah, Tiara. Hanya saja kita perlu membuat siasat supaya kita bisa masuk ke Candi Sewu dengan aman,” komentar Mira.
“Aku tahu caranya. Nanti aku lihat dulu dari atas pohon bagaimana keadaan Candi Sewu. Nanti aku bisikkan ke Mira. Lalu Mira tinggal beritahu Tiara di bawah pohon. Setuju?” tanya Koara si koala cerdik.
Dua sahabatnya mengangguk tanda setuju. Mereka pun berangkat ke Candi Sewu yang letaknya di seberang sungai.
Sesampai di dekat candi, Koara meniti batang pepohonan sampai di ujung tertinggi. Dari situ dia melihat ke arah Candi Sewu.
Mira menyusul Koara. Ia mengendap-endap hingga sampai di batang pohon di bawah Koara berada.
“Ada tiga orang di depan pintu candi utama. Mira, cobalah membuat keributan supaya mereka beranjak dari situ ke arah Tiara,” bisik Koara dari ujung pohon.
Mira pun memberi kode pada Tiara. Tiara beringsut menuju bebatuan besar di samping Candi Sewu.
Sementara itu, Mira melangkah dalam senyapnya senja menuju tiga pencuri batu candi yang sedang berjaga. Mereka sedang mengisi bilah bambu obor dengan minyak sambil asyik bercanda ria.
Begitu sampai dekat mereka, Mira meloncat sekuat tenaga. Ia menabrak obor-obor yang baru saja dinyalakan sampai jatuh. Api pun mulai menjalar sampai para pencuri batu candi itu panik.
“Kucing kurang ajar. Awas kukejar sampai dapat!” seru seorang pencuri. Ia segera mengejar Mira bersama dua temannya. Mira berlari cepat ke arah bebatuan besar di mana Tiara berada. Tiga pencuri batu candi pun mengikuti jejak Mira.
Ketika sampai di dekat bebatuan, Mira segera bersembunyi di baliknya. Kawanan pencuri batu candi berhenti sejenak untuk memeriksa.
“Ke mana perginya si kucing nakal itu?” kata seorang pada teman-temannya.
“Lihat, itu ada ekor di sana. Ayo kita sergap kucing itu,” seru seorang lainnya.
Mereka bertiga pun serempak menuju ekor yang mereka lihat. Salah seorang mencoba menarik ekor itu.
“Rrraw…rraw….,” aum Tiara ketika ekornya diusik kawanan pencuri itu. Ia berdiri di atas dua kaki untuk menunjukkan cakar-cakar tajamnya.
“Hwaaa….ada harimau!” Gerombolan pencuri batu candi itu pun lari terbirit-birit. Tiara mengejar mereka sampai mereka terjun ke sungai. Byur!
Koara tertawa terbahak-bahak melihatnya. Ia meluncur turun. Tiga sekawan hewan budiman itu pun dengan tenang memasuki pintu candi utama.
“Lihat, ada lubang kecil di bawah candi!” seru Koara.
“Biarkan aku masuk ke sana,” kata Mira. Dengan cakar mungilnya, Mira mengais-ngais tanah agar bisa memasuki lubang itu.
Di sebelah luar, Tiara dan Koara memegang obor untuk mengusir kegelapan malam.
Setelah sekian waktu, Mira keluar membawa sebuah kotak logam.
“Akhirnya kita temukan kotak harta karun ini. Ayo kita buka,” kata Tiara.
Kotak itu pun dibukanya. Isinya di luar dugaan. Bukan bendera. Bukan pula perhiasan ratna mutu manikam.
Ternyata harta karun misterius itu adalah bulir-bulir beras. Anehnya, warnanya merah putih. Satu ujung kemerahan. Ujung lainnya putih.
Tiba-tiba terdengar suara. “Wahai tiga sahabat baik hati, kalian baru saja menemukan beras pusaka dari abad purbakala. Beras itulah yang akan tumbuh baik meski air hujan tidak banyak turun,” tutur sosok di belakang candi.
“Si..siapa yang bicara pada kami?” selidik Koara.
“Apa kamu tidak ingat. Akulah nenek yang menemuimu waktu itu, Koara,” jawab suara itu. “Serahkanlah benih-benih beras merah putih ini pada para petani di desa. Benih ini akan menghasilkan panen melimpah dengan satu syarat,” lanjut si nenek misterius yang masih menyembunyikan dirinya.
“Apa syaratnya, Nek?” tanya Tiara dan Mira serentak.
“Mulai sekarang jangan pernah membuang-buang makanan. Makanlah secukupnya. Hargailah setiap bulir beras yang diberikan Yang Maha Kuasa,” tutur si nenek.
“Baiklah, Nek. Pesan ini akan kami sampaikan pada penduduk desa dan seisi hutan belantara. Terima kasih, Nek,” kata Koara.
Mira, Koara, dan Tiara mendekat ke balik candi untuk menemui si nenek, namun si nenek lenyap tanpa jejak.
Mira, Koara, dan Tiara berpandang-pandangan. Mereka sungguh takjub. Senyum pun menghiasi wajah mereka.
Sembari bergandengan tangan, tiga sekawan budiman beranjak menuju ke desa. Membawa bulir beras merah putih yang juga menjadi lambang keberanian dan kesucian hati mereka.
Tamat
Bobby Steven
Situs: www.inspirasianakita.com
Instagram: https://www.instagram.com/inspirasianakita/
Facebook Comments