Banyak kenangan manis selama saya setahun bersama masyarakat Dayak Kayan Ma’apan dan Punan di Sungai Kayan, Kalimantan Utara pada tahun 2009-2010 dalam sebuah kesempatan magang.
Desa tempat saya menjalani sebagian besar masa magang sebagai calon pastor Katolik itu adalah Desa Kenarai, Mara Satu, Kecamatan Tanjung Palas Barat. Kawasan ini masuk wilayah Kabupaten Bulungan yang beribukota di Tanjung Selor, Kalimantan Utara.
Yang paling unik dari wilayah Mara Satu adalah bahwa di satu wilayah itu terdapat tiga kampung, tiga suku besar, dan tiga agama dominan.
Desa Kenarai tempat saya tinggal dihuni oleh sebagian besar Suku Dayak Kayan Ma’apan yang memeluk agama Katolik. Desa sebelah (kampung tengah) dihuni mayoritas Suku Dayak Kenyah yang beragama Kristen Protestan. Sementara desa hilir didiami sebagian besar oleh Suku Bulungan yang beragama Islam.
Meskipun berbeda suku, agama, dan juga kebudayaan, warga tiga kampung yang bersebelahan itu selalu hidup dalam harmoni. Para pemuka adat, agama, dan tokoh masyarakat setempat juga bekerjasama untuk mempererat silaturahmi.
Sejatinya suku-suku di sepanjang aliran Sungai Kayan di Kabupaten Bulungan terdiri dari aneka subsuku Dayak. Akan tetapi, sepanjang pengamatan dan interaksi saya dengan mereka, umumnya masing-masing subsuku merasa lebih nyaman menyebut diri mereka tanpa kata “Dayak”.
Gerbang Mara Satu dengan ukiran Kayan Ma’apan (Dok. Rian)
Gotong-royong dan Kearifan Lokal Suku Kayan Ma’apan
Orang Kayan Ma’apan menerapkan ladang berpindah dengan mengindahkan pencegahan kebakaran hutan dan siklus pemulihan kesuburan tanah.
Masyarakat Kayan Ma’apan melaksanakan proses perladangan di atas dengan sistem senguyun. Arti kata senguyun adalah pesta gotong-royong. Keluarga-keluarga Kayan Ma’apan saling membantu dalam meladang, mulai dari membuka ladang sampai panen.
Proses pembuatan ladang Suku Kayan Ma’apan terbagi dalam tujuh tahap:
1. Meliri’k
Meliri’k berarti bergotong-royong membuka ladang dengan membersihkan rumput dan akar pepohonan. Lazimnya pada bulan Juni.
2. Menebang pohon dan memotong ranting
Setelah meliri’k usai, pepohonan di calon ladang akan ditebang. Selanjutnya warga akan bekerjasama memotong ranting-ranting pohon agar lebih mudah dibakar. Ini dilakukan biasanya pada bulan Juli.
3. Membakar
Di lahan yang telah ditebang, pohon-pohonnya akan dibakar. Pembakaran diawasi dengan ketat secara bersama-sama oleh warga Kayan Ma’apan agar tidak meluas ke hutan di sekitar ladang. Ini biasa dilaksanakan pada awal bulan Agustus.
4. Mekop
Sebelum membuat lubang-lubang benih (nugal), ranting-ranting pohon yang sudah dibakar akan dibersihkan agar mempermudah proses nugal. Mekop dilakukan pada pertengahan Agustus.
5. Nugal
Nugal berarti membuat lubang-lubang benih di tanah dengan bantuan kayu yang diruncingkan. Biasanya para pria membuat lubang-lubang itu. Para wanita menyusul di belakang barisan para pria guna menaruh benih di lubang-lubang itu.
Ini lazimnya dilakukan pada bulan September. Saya pernah juga mengikuti nugal. Tergantung luas lahan, peserta nugal bisa mencapai puluhan bahkan ratusan orang.
Biasanya Orang Kayan Ma’apan membuat hidangan nasi lemang dalam bambu sebagai santapan ketika nugal bersama.
6. Nabeu
Nabeu berarti membersihkan rumput yang tumbuh di sekitar ladang padi. Nabeu dilaksanakan pada bulan November.
7. Panen
Panen biasanya dilakukan pada bulan Februari dengan alat ani-ani. Jika terjadi gagal panen di sejumlah ladang, warga lain membantu dengan menyumbang beras untuk keluarga yang tedampak gagal panen.
Dalam menjalankan perladangan berpindah, masyarakat Kayan Ma’apan sejatinya telah memiliki ladang-ladang keluarga yang diwariskan dari generasi ke generasi. Perpindahan dari ladang satu ke ladang lainnya setiap tahunnya tidak selalu berarti pembukaan ladang baru dengan merusak hutan.
Orang Kayan Ma’apan membuka lahan baru dalam skala yang wajar dan penuh kehati-hatian untuk mempertahankan eksistensi mereka dengan memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ekspansi perusahaan kayu dan kelapa sawit yang dilakukan dalam skala luas dan kerap mengabaikan kelestarian hutan adat.
Bukit di sekitar kampung Mara Satu nan hijau (Dok. Rian)
Hutan di kawasan sekitar Sungai Kayan juga menjadi rumah tinggal bagi burung enggang atau rangkong, satwa endemik Borneo.
Burung enggang merupakan salah satu jenis burung yang dilindungi. Bagi Orang Kayan Ma’apan, burung enggang pantang diburu. Enggang mereka anggap sebagai burung surgawi karena kemampuannya terbang tinggi.
Burung enggang juga menjadi inspirasi bagi tari-tarian, pakaian adat, dan ragam hias Dayak Kayan Ma’apan. Umpama, para penari Tari Enggang menirukan gerakan anggun burung enggang ketika terbang melayang di angkasa.
Selain itu, menurut Mega Hidayah (2018), Dalam budaya masyarakat suku Dayak Kenyah, burung enggang dianggap sebagai hewan suci dalam kehidupan sosial mereka. Burung enggang adalah simbol alam atas yaitu alam kedewataan yang bersifat maskulin.
Hal lain yang menarik dari burung ini adalah memiliki sifat setia, dan mereka mempunyai kebiasaan hidup berpasang-pasangan.
Suku Punan Bergotong-Royong Memanen Madu dan Menjaga Alam
Suku Punan di Sungai Brun, sebuah anak sungai yang menginduk di Sungai Kayan berpola hidup berburu dan meramu, meski telah memiliki perkampungan.
Di kampung Brun itu, waktu saya datang hanya ada satu sekolah dasar. Hanya ada satu guru bantu yang berasal dari seberang Kota Tanjung Selor di hilir Sungai Kayan.
Jarak Tanjung Selor ke Brun dengan menggunakan perahu ketinting (perahu bermotor tempel) sekitar 6-8 jam.
Tidak ada sinyal telepon seluler di kampung Orang Punan di Sungai Brun. Tidak ada satu pun warung di kampung yang terdiri dari sekitar 20-an rumah panggung itu.
Yang membuat saya takjub adalah bersihnya kampung dan air sungai di sekitar perkampungan Brun. Meskipun warga Brun juga mengonsumsi produk modern seperti minyak goreng, kopi pabrik, dan rokok, saya tidak mendapati satu pun sampah di kampung dan sungai di dekatnya.
Rupanya hal itu karena adanya aturan adat yang mewajibkan warga menjaga kebersihan lingkungan.
Salah satu sumber penghasilan Orang Punan di Brun adalah madu hutan. Mereka memanen madu dengan menjaga kelestarian lebah dan pepohonan hutan.
Om Guk mengisahkan, Orang Punan biasa memanen madu hutan secara bergotong-royong pada senja hari. Langkah pertama adalah membakar dahan dan daun kering di bawah pohon di mana ada sarang madu. Asap digunakan untuk mengusir lebah dari sarangnya.
Langkah kedua adalah memanjat pohon dengan menggunakan bantuan tali rotan. Ada dua jenis tali rotan: tali besar dan tali kecil. Orang Punan cerdik menaikkan tali-tali besar dengan bantuan tali-tali kecil.
Langkah ketiga adalah langkah yang sangat menarik. Orang Punan yang sudah memanjat pohon akan menyanyikan kidung dalam bahasa daerah mereka di dekat sarang lebah madu.
Isi lagu tersebut kurang lebih adalah “Wahai lebah-lebah, saya datang ke sarangmu bukan untuk membunuh kalian. Saya datang hanya untuk mengambil madu. Saya mohon izin kalian. Jangan serang saya dengan sengat kalian.”
Akhirulkalam
Budaya sunguyun Kayan Ma’apan dan budaya gotong-royong memanen madu secara ramah lingkungan ala Punan adalah kekayaan budaya yang patut diekspos dan dilestarikan. Salam Bhinneka Tunggal Ika.
Ruang Berbagi untuk Inspirasianakita.com
Facebook Comments