Debat calon presiden dan wakil presiden jelang Pemilu tahun ini menyedot perhatian publik. Di lapak angkringan, perkantoran, hingga media sosial, kita membincangkan debat dengan hangat. Sontak kita berdebat juga tentang isi dan tata krama debat yang diragakan para calon pemimpin hebat.
Fenomena semarak debat capres dan cawapres ini seharusnya juga menjadi momentum bagi edukasi dan literasi politik publik, terutama generasi muda. Dalam debat, kandidat pemimpin politik menjabarkan sekilas visi, misi, dan aksi demi negeri. Mereka saling mengkritisi dalam diskursus serius.
Sejarah debat politik
Sejarah debat politik dapat kita telusuri dalam praktik debat argumentatif di Yunani kuno ( Novaes, 2020). Latar belakang sosio-politik yang memicu suburnya debat politik adalah mekarnya demokrasi Athena (508-322 SM). Di Athena setiap warga negara dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan tata kelola kota atau polis (Hansen, 1991).
Dalam masyarakat demokratis Athena, tiga badan politik utama adalah trias politica ala Aristoteles yakni dewan perwakilan masyarakat, pejabat eksekutif, dan perangkat peradilan. Dalam setiap badan politik tersebut, keputusan diambil berdasarkan perdebatan yang ekstensif.
Dalam sistem politik Yunani, menjadi orator dan juru debat andal sangat penting bagi seorang warga negara. Hanya orator yang mampu berdebat dengan logis dan persuasiflah yang akan memperoleh suara di majelis maupun untuk mengajukan suatu perkara hukum di pengadilan.
Pendidikan Debat Yunani
Dalam kondisi seperti ini, bangsa Yunani kuno melatih kaum muda dan masyarakat luas untuk menjadi orator terampil. Banyak pemikir terkenal Yunani klasik adalah kaum Sofis, yakni para guru profesional keliling yang menyebarkan pendidikan retorika (Notomi, 2014).
Selain kaum Sofis, kaum filsuf seperti Socrates dan muridnya Plato mempromosikan gaya wacana argumentatif yang berbeda. Alih-alih pidato panjang para ahli retorika, Plato lebih menyukai interaksi dialogis di mana pembicara bergiliran secara berurutan. Inilah yang dikenal sebagai dialektika (Castelnérac & Marion, 2009).
Manfaat Debat
Debat memiliki aneka manfaat bagi perkembangan pribadi generasi muda. Tentu debat politik tidak lantas diterapkan dalam pembelajaran. Debat yang sebaiknya diajarkan di sekolah merupakan pembelajaran untuk menyusun dan menyajikan gagasan secara sistematis dan etis.
Berdasarkan pengalaman pribadi dalam debat akademik, aktivitas berdebat memiliki sejumlah keuntungan. Pertama, berdebat mengasah keterampilan merumuskan dan menyampaikan gagasan. Seorang pendebat perlu banyak membaca dan berlatih memilah data. Berdebat melatih orang untuk mampu menghindarkan diri dari berita palsu dan mendorong minat siswa terhadap permasalahan sosial (Litan, 2020).
Kedua, berdebat mengasah keterampilan mendengarkan aktif dan empatik. Seorang pendebat tidak hanya mencari kesalahan lawan, namun juga mampu mengapresiasi pendapat lawan secara ksatria. Berdebat mengandaikan kemampuan untuk menyimak sekaligus berpikir kritis.
Ketiga, berdebat memacu perkembangan keterampilan sosial. Berdebat mengasah kemampuan untuk menghargai pendapat berseberangan. Juga mengajak kita untuk memahami keberagaman sudut pandang dalam memahami topik tertentu. Debat melatih kita untuk menyampaikan gagasan secara santun dan anggun.
Saatnya Masuk Kurikulum
Menilik aneka manfaat debat akademik, sudah saatnya debat dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Debat sebaiknya diperkenalkan sejak dini sesuai taraf perkembangan anak dan remaja.
Dalam praktik pendidikan di aneka pesantren, seminari, dan lembaga pendidikan keagamaan, debat sebenarnya sudah menjadi tradisi. Ada forum sidang akademi yang menjadi wahana udar gagasan dalam suasana ilmiah sekaligus formatif.
Lantas bagaimana praksis pembelajaran melalui debat akademik? Penulis sejak remaja mengikuti debat dengan sistem Australian Parliamentary di mana sebuah topik dibahas oleh tim pendukung dan tim penyanggah. Setiap tim diminta mencari tiga alasan pendukung dan penolakan terhadap pernyataan tema debat.
Dengan metode ini, peserta didik akan terpacu untuk sebanyak mungkin membaca dan berdiskusi guna merumuskan alasan-alasan pendukung dan penolakan. Debat ini akan memacu peserta untuk berpikiran terbuka terhadap pendapat liyan. Semoga debat bermartabat menjadi bagian dari kurikulum kita!
Bobby Steven MSF
Biarawan dan Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma
Facebook Comments