Watubela, Romansa yang Terpendam

Untuk kamu yang selalu menyimpan kerinduan akan tanah leluhurmu. Hari ini kamu mengajak aku ke Pulau Sumba. Cerita tentang Pulau Sumba, katamu, seolah tiada akhir.

Bukankah kamu sangat menyukai tanah leluhurmu yang didominasi oleh bentangan stepa dan sabana. Katamu, Tanah Humba, selalu memiliki kisah tersendiri untuk dilukiskan, seakan memiliki daya pikat magis namun juga sangat manis.

Katamu, Tanah Humba bak surga yang diturunkan ke dunia oleh Mirri, Marobba Allah, Sang Pemilik Kehidupan. Kamu pernah bercerita padaku tentang setiap sudut wilayah yang ada di sana, kental akan adat istiadat yang dipegang teguh masyarakat setempat. Pesona wisata alam yang dimiliki, tidak kalah menariknya, di samping tenunan yang sarat makna.

Kali ini, kamu berhasil meyakinkanku, bahwa pesona Tanah Humba yang kamu agung-agungkan itu tidak hanya terlihat pada alam Sumba Timur, Sumba Tengah atau Sumba Barat Daya, namun juga tercetak pada bentangan alam di Sumba Barat. Deretan pantai indah di sana diibaratkan seperti gadis belia yang baru belajar bersolek. Kecantikan yang tersembunyi dalam senyum yang menawan.

Salah satu destinasi terbaik di Sumba

Untuk membuktikan kebenaran setiap katamu, aku datang ke Pantai Watubela, yang terletak di Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya. Untuk sampai ke pantai yang digadang-gadang sebagai salah satu destinasi terbaik di Sumba, butuh waktu kurang lebih 45 menit dari Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat atau satu jam perjalanan dari Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya.

Tawa hangatmu mengembang, menyambut kedatanganku. Ada senyum kemenangan tertangkap di sudut bibirmu. Mobil sewaan akhirnya meluncur di siang yang panas, menyusuri ruas jalan berdebu yang telah diperbaiki.

Perjalanan kali ini, kita sengaja menyewa mobil. Menurutmu, selain lebih hemat, beberapa pantai lainnya dalam deretan garis pantai yang sama dapat disusuri dalam sekali trip.

Beberapa botol air minum sudah disiapkan. Cuaca yang panas dan kering, membuat tubuh cenderung berkeringat. Di sekitar Pantai Watubela tidak tersedia warung atau toko kelontong yang menjual air minum kemasan.

Penduduk setempat hanya menyediakan kelapa muda segar yang dijual dengan harga yang relatif terjangaku. Untuk meneguk air kelapa yang kaya akan mineral, cukup merogoh kocek lima ribu rupiah saja.

Spot foto terbaik

Dari pusat kota Waikabubak, kita berdua menyusuri Kecamatan Lamboya yang juga menjadi lokasi Pasola (lempar lembing sambil berkuda) yang terkenal itu. Pasola di kota kecilmu dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Februari.

Kita berhenti sejenak di sana, menikmati setiap ceritamu yang mengalir tiada henti. Seakan itu adalah bagian dari perjalanan hidupmu yang harus dibagi. Tentang tanah leluhurmu, tentang adat istiadat yang menyertainya.

Pintu masuk ke bibir pantai telah menunggu di depan. Sebuah perkampungan penduduk yang sederhana. Beratap rumbai, berdinding dan berlantaikan bilah bambu.

Mobil atau motor diparkir dalam perkampungan yang dikelilingi tembok batu setinggi satu meter, cukup dengan membayar sewa parkir seadanya. Biasanya sepuluh hingga dua puluh ribu rupiah, tergantung kerelaan saja.

Perkampungan kecil yang terdiri dari lima hingga enam rumah panggung dengan ciri khas Sumba, menyambut hangat kedatangan para tamu. Anak-anak kecil yang polos, bermain di halaman rumah mereka yang sempit.

Menyusuri perkampungan kecil itu, kita melewati kendang ternak yang sekelilingnya dipagari batu. Tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung ternak milik keluarga dalam perkampungan tersebut. Perjalanan menuju bibir pantai butuh waktu sepuluh menit. Harus ekstra hati-hati ketika menapaki jalan setapak yang cenderung menurun.

Hamparan rumput hijau dan deretan pohon kelapa yang menari tertiup angin, bak menyambut pengunjung yang ingin menyaksikan kecantikan pantainya. Beberapa spot foto terbaik ada di hamparan rumput hijau ini. Paduan latar belakang hijau dedaunan dengan birunya lautan memberi cerita sendiri yang tak terlupakan.

Pasir putih nan lembut

Memasuki kawasan pantai, potongan besar karang hitam yang menjorok ke arah laut, menyambut kehadiran kita. Deburan ombak yang berwarna putih menjadikan lokasi ini sangat sempurna untuk diabadikan.

Pasir putih yang ada terasa sangat lembut di kaki, melengkapi tebing berwarna putih yang terbentang sejauh 300 meter. Dengan garis krem kecoklatan yang tercetak pada setiap kontur yang ada, meninggalkan cerita tersendiri.

Paduan antara karang hitam, pasir putih nan lembut, serta tebing putih dengan ketinggian lebih dari sepuluh meter menjadi paket menarik yang komplit untuk ditawarkan.

(Dokpri)

Aku menangkap sorot kekaguman dalam matamu yang hitam. Kagum atas karya besar A Mawola A Marawi (Sang Pencipta). Tidak ada kata yang terucap, kecuali rasa kagum dan syukur yang memenuhi diri.

Di sisi bagian barat, terdapat tumpukan potongan batu alam berukuran besar. Hempasan gelombang laut selatan tidak menggoyahkan bebatuan ini.

Ada gua yang cukup luas di baliknya, mengarah pada sisi yang berlawanan dan dapat dimasuki saat air sedang surut. Beberapa jepretan pun diambil di sini, seolah tak ingin kehilangan momen yang indah.

Angin laut yang bertiup kencang, membuat rambut ikalmu menari-nari. Tidak ingin mengecewakan diriku yang datang mengunjungimu, beberapa jepretan cantik dijadikan hadiah menyambut kedatanganku. Meskipun sunset tidak dapat dinikmati dari tempat ini, namun setiap hasil jepretan pada saat suasana cerah seperti sekarang sudah cukup membuat bahagia.

Benar kata orang, untuk bahagia, tidak perlu banyak orang. Cukup aku sebagai objek jepretan dan kamu yang siap siaga memberikan bidikan yang tepat untuk hasil yang cantik.

Oleh Ralapa untuk Inspirasianakita.com

Facebook Comments