Oleh: Agustina Florenze Umapaga – Mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta
(Kisah ini diambil dari kisah nyata)
Awal mula pertemuan Florenze dan Emiliana terjadi saat mereka menginjakkan kaki di SMA. Keduanya duduk bersebelahan di hari pertama masuk sekolah. Dari saling canggung, mereka mulai menyapa, lalu tertawa bersama, hingga akhirnya menjadi sahabat dekat yang tak terpisahkan. Mereka sering belajar bersama, pergi makan usai sekolah, hingga berbagi cerita tentang impian masing-masing. Persahabatan mereka tumbuh di tengah hiruk pikuk masa remaja, melewati ujian, tangisan, dan tawa yang tak terhitung jumlahnya.
Ketika kelulusan hampir tiba, mereka berdua berjanji untuk melanjutkan kuliah di universitas yang sama. Rencana sudah disusun rapi—impian mereka akan tetap bersama, meski di jenjang baru. Namun takdir berkata lain. Orang tua Florenze tidak mengizinkannya untuk kuliah jauh dari rumah, membuatnya harus memilih universitas di Yogyakarta, sementara Emiliana tetap pada rencananya melanjutkan studi di Bali. Perpisahan itu berat, keduanya menangis di hari terakhir mereka bersama di kota yang telah menyimpan banyak kenangan.
Waktu berlalu. Emiliana menjalani hari-harinya di Bali bersama bibinya yang ternyata sangat keras. Ia sering mendapat tekanan, bahkan perlakuan kasar yang membuatnya terpuruk. Tangis menjadi teman malamnya, dan satu-satunya tempat ia bisa bercerita hanyalah sahabatnya—Florenze. Di sisi lain, Florenze menjalani hari-hari yang cukup bebas di kosnya. Ia aktif mengikuti organisasi kampus, berteman dengan banyak orang, namun tak pernah lupa menyempatkan waktu untuk mendengar cerita Emiliana.
Meski terpisah jarak, mereka tetap menjadi satu dalam hati. Florenze tak pernah membandingkan hidupnya dengan Emiliana. Ia tahu, masing-masing orang punya beban dan perjuangannya sendiri. Ia memilih menjadi sahabat yang memberi semangat, bukan pesaing yang menuntut kemenangan. Di setiap pesan suara yang dikirimkan, ia selalu menyisipkan harapan, doa, dan candaan kecil agar Emiliana bisa tetap kuat.
Meski jurusan mereka berbeda, Emiliana di jurusan tata boga dan Florenze di bidang komunikasi visual, mereka mulai merancang sebuah mimpi baru: membuka usaha makanan dengan kemasan menarik dan promosi kreatif. Ide yang awalnya hanya candaan di chat, kini perlahan mereka bangun bersama lewat diskusi daring dan rencana kecil-kecilan.
Dari kisah Florenze dan Emiliana, kita belajar bahwa sahabat sejati bukanlah mereka yang berlomba menjadi lebih unggul. Melainkan mereka yang tetap tinggal, meski dipisah jarak dan keadaan. Yang memilih untuk memahami, bukan menghakimi. Dan yang paling penting: mereka yang hadir sebagai rumah di tengah badai kehidupan.
Facebook Comments