Bangsa Austronesia dan Melanesia tidak asing dengan bakau (mangrove) dan menjadi bagian dari peradaban. Bangsa Austronesia diyakini sudah mengenal bakau dan pemanfaatannya bahkan sejak masih di Sundaland (dataran Sunda) pada 25.000 sampai 11.000 tahun Sebelum Masehi.
Nearchus, seorang pelaut Yunani pada 325 SM mengatakan, mungkin tidak ada komunitas tumbuhan lain yang lebih menarik perhatian ilmiah selain hutan bakau. Bakau adalah hutan hujan di tepi laut. Umumnya, sepanjang garis pantai subtropis dan tropis didominasi oleh hutan bakau yang diperkirakan mencakup area seluas 22 juta hektar.
Guna menjaga keberlangsungan hidup hutan bakau dan organisme yang mendiaminya, sebuah suku di Ende melakukan ritual adat “Rore Rusa” dan “Tiwu”. Kedua ritual ini diadakan setiap tahun. Kedua ritual adat ini ditujukan untuk menjaga harmoni manusia dan lingkungan, terutama hutan bakau dan aneka biota laut yang mendiaminya.
Profil Kecamatan Maukaro
Maukaro adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Jarak dari kota Ende mencapai 90 km. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Wewaria, sebelah barat dengan Kabupaten Nagekeo, sebelah utara dengan Laut Flores, dan sebelah selatan Kecamatan Nangapanda.
Penduduk Maukaro berjumlah 7.836 jiwa (Dukcapil Ende, Juni 2020). Mereka mendiami wilayah seluas 102,60 km2. Mereka menyebar pada sepuluh desa. Umumnya, menggantungkan hidup pada kebaikan alam. Mereka mengolah sawah dan ladang untuk ditanami padi, jagung, dan kacang-kacangan. Hasil perkebunan yang dapat menunjang ekonomi keluarga adalah kelapa, kakao, kemiri, dan jambu mete.
Hasil-hasil pertanian dan perkebunan biasanya dijual di pasar tradisional. Pasar mingguan itu bernama Pasar Maukaro. Pasar ini beroperasi setiap Senin. Namun, seiring lancarnya transportasi Maukaro–Ende, masyarakat membawa hasil komoditas ke kota Ende dengan harapan menjual dengan harga yang lebih tinggi.
Maukaro berada di daerah pesisir pantai. Manfaatnya, mereka menikmati rezeki dari hasil-hasil laut. Perlengkapan perikanan yang digunakan adalah kapal motor, motor tempel, perahu papan, dan jukung. Jumlah keseluruhannya mencapai 209 buah (Data BPS, 2017). Jumlah nelayan 500 orang. Jenis ikan hasil laut berupa ikan terbang, kakap, selar, kerapu, cumi-cumi, cara, dan kepiting. Ikan cara (ika cara) mudah ditangkap di hutan bakau Maukaro.
Selain menggunakan alat penangkapan modern, masyarakat menangkap ikan dengan tangan kosong. Hal ini dilakukan setiap awal tahun (Januari atau Februari) dalam sebuah upacara bernama “Tiwu” di Teluk Rera Wete. Upacara “Tiwu” ini didahului dengan ritual “Rore Rusa” yang dilakukan sehari sebelumnya.
“Rore Rusa”
“Rore Rusa” berasal dari kata bahasa Ende, “rore” dan “rusa”. “Rore” berarti memotong atau menyembelih. Sementara kata “rusa” berarti rusa, hewan mamalia pemamah biak (ruminan) yang termasuk famili Cervidae. Jadi, ritual “Rore Rusa” sejatinya adalah upacara menyembelih rusa. Dahulu, populasi rusa sangat banyak di Maukaro. Meski hewan liar, rusa mudah ditangkap. Seiring berkurangnya rusa di hutan, hewan sembelihan saat ini diganti dengan kambing.
Biasanya upacara dilakukan siang hari sekitar pukul 14.00. Hal ini bersamaan dengan pasang laut mulai surut. Kepala suku (mosarhaki) berpakaian adat lengkap khas Ende.
Terdiri dari “rhambu” (baju putih berlengan panjang), “rhuka” (sarung hitam), “senai” (selendang yang diletakkan pada bahu kanan), dan “lesu” (daster yang diikat di kepala). “Lesu” hanya dipakai oleh mosarhaki, pemimpin upacara adat. Pemimpin ritual tidak menggunakan alas kaki.
Yang berhak melakukan upacara “Rore Rusa” adalah mosarhaki Dero Waru. Seekor kambing dibawa oleh beberapa laki-laki. Kepala suku lalu memyembelih kambing itu dan darahnya menyatu bersama air laut di hutan bakau itu. Turut disembelih pula beberapa ekor ayam yang merupakan persembahan dari berbagai anak suku. Ayam adalah unggas peliharaan umum di Maukaro.
Sebelum menyembelih kambing, mosarhaki memanjatkan doa. Ritual “Rore Rusa” dilakukan sehari sebelum upacara “Tiwu” dilakukan di tempat yang sama. Beberapa sesepuh menceritakan, “Rore Rusa” adalah kenangan akan pertempuran leluhur Deken Deta Sengaki dalam mempertahankan wilayah Nabe (Maukaro) dari serangan musuh.
Deken Deta Sengaki adalah leluhur asli orang Nabe. Mereka mempertahankan tanah dan ulayat dari pihak-pihak luar. Sulit memprediksikan siapa musuh yang dimaksud. Namun, kemungkinan besar orang-orang Bugis dari Sulawesi yang masuk pada abad ke-16.
Ritual ini berfungsi sebagai cara masyarakat Maukaro menjaga ekosistem pantai dan hutan bakau. Warga berharap, Sang Penguasa Alam selalu menjaga keturunan Sengaki dengan memberikan hasil laut yang melimpah.
“Tiwu”
“Tiwu” adalah upacara turun ke laut guna menangkap ikan menggunakan tangan. Tradisi tahunan ini diwariskan turun temurun oleh para leluhur. “Tiwu” dilaksanakan setelah “Rore Rusa” sehari sebelumnya.
Ribuan warga dari wilayah Maukaro dan sekitarnya turun ke laut sejak dini hari. Mereka mencebur di Teluk Rera Wete. Mereka menangkap ikan dengan tangan. Cara penangkapan ikan ini dapat mengurangi penggunaan bom dan pukat harimau yang kini banyak digunakan nelayan.
Teluk Rera Wete memiliki luas sekitar serratus hektare. Kedalamannya tidak lebih dari tinggi orang dewasa. Dasar teluk berlumpur dipenuhi lumut. Ikan-ikan yang ditangkap adalah belanak (Moolgarda seheli) dan baronang (Siganus Sp.).
Di teluk ini warga tidak sembarangan menangkap ikan. Hanya sekali dalam setahun, yaitu pada awal tahun. Hal ini sebagai cara menjaga keberlanjutan upacara “Tiwu”. Pada upacara ini ikan-ikan dengan sangat mudah ditangkap. Jika dilihat sepintas, hal ini tidak masuk akal. Akan tetapi, banyaknya ikan yang “bermain-main” di hutan bakau Rera Wete memungkinkan ikan mudah didapat dan ditangkap.
Beberapa sesepuh Maukaro berpesan, hutan bakau sebagai tempat ritual “Rore Rusa” adalah simbol sejarah pertumpahan darah sehingga harus dijaga kelestariannya. Pohon-pohon bakau itu tumbuh subur di sepanjang Pantai Nabe, Kecamatan Maukaro. Hutan bakau adalah tempat ikan-ikan berdiam, sehingga warga tidak boleh menangkap ikan-ikan itu dengan bom.
Makna Ritual
Pertama, dua ritual adat di Ende ini mendukung peran ekologis hutan bakau. Hutan bakau menyokong kehidupan biota laut. Udang, kepiting, dan ikan dapat hidup di celah-celah akar bakau. Pohon-pohon bakau dapat mendukung kehidupan burung-burung, insektisida, mamalia, dan reptilia.
Akar bakau yang lebat dapat menjadi habitat bagi tunicata, spon, alga, dan bivalvia. Plankton-plankton yang menjadi makanan utama ikan-ikan dapat hidup dengan aman di hutan bakau sebab terlindung dari gangguan predator.
Kedua, dua ritual lokal ini menjaga rantai makanan. Bakau dapat memberikan sumbangan zat nutrisi yang banyak bagi rantai makanan. Rantai makanan pada hutan bakau didominasi oleh detritus (pamakan bangkai, bakteri, dan jamur) dan detritivor (memakan sisa-sisa makanan hidup).
Ketiga, dua ritual ini dapat menjadi bagian integral dari obyek wisata pelestarian hutan bakau. Hutan bakau dapat menjadi obyek wisata yang menarik. Pohon-pohon yang rapat dibalut daun-daun yang hijau di tepi pantai dapat memberikan nuansa alam yang indah.
Cuitan burung-burung diiringan desir hempasan gelombang menambah suasana batin nan tenteram. Dibutuhkan daya kreatif agar dua upacara adat di Teluk Rera Wete ini dapat mendukung wisata hutan bakau.
Keempat, dua ritual ini melibatkan masyarakat adat dalam konservasi pantai. Perubahan lingkungan seperti terjadinya perubahan garis pantai lebih cepat terjadi karena faktor antropogenik atau faktor manusia.
Ritual “Rore Rusa” dan “Tiwu” merupakan upaya pelibatan masyarakat adat dalam konservasi pantai. Dengan daya dukung masyarakat, niscaya hutan bakau dan pesisir pantai di utara Pulau Flores akan terjaga.
Roman Rendusara untuk Inspirasiana
Foto: Mosalaki Sengaki menyembelih kambing tanda dimulainya ritual rore rusa dan tiwu di tengah hutan bakau Desa Nabe, Kecamatan Maukaro, Ende, Flores, NTT | Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.
Facebook Comments