Mentari senja membiaskan sinar-sinar pamungkasnya. Menghias bumantara Kalimantan dengan semburat jingga. Ketinting yang aku tumpangi melawan arus Sungai Kepuyan. Motoris susah payah mengarahkan laju perahu agar tak menghantam batu dan kayu.
Dengan susah payah, tibalah kami di dermaga kampung Long Serun. Kampung terakhir di daerah aliran Kepuyan. Tepat di tepi rimba Apo Luan. Jika engkau meneruskan perjalanan ke hulu, rimba Apo Luan menantimu dalam senyap. Sudah berapa penjelajah lenyap.
Ini bukan perjalanan perdanaku ke Long Serun. Dua bulan lalu, aku telah menjejakkan kakiku di kampung di pelosok Kalimantan Utara ini. Hanya saja, waktu itu aku tak sempat menginap karena sekadar observasi awal saja. Kali ini aku putuskan untuk bermalam.
“Pak Dokter, naiklah ke dermaga. Hati-hati. Licin jembatannya,” kata Ijung, motoris perahu.
Aku mengangguk. Perlahan aku titi apa yang dia sebut jembatan itu. Sebatang kayu kelapa lapuk. Orang kampung sangat cepat menitinya, sedangkan aku lambat dan gemetaran.
Untunglah, aku berhasil melewati uji nyali itu. Tak berselang lama, datang sejumlah orang menyambut kami di dermaga kampung.
“Selamat datang, Pak Dokter dan Ijung. Kita jumpa lagi setelah tiga bulan,” sambut Uku Ubung, sang kepala kampung. Senyum mengembang di wajahnya. Ia mungkin mengira, aku kapok datang lagi setelah sakit perut gegara meminum tuak nira pada kunjungan perdanaku.
Uku Ubung belum tahu isi hati dan otakku. Aku tadinya tugas setahun di sebuah rumah sakit di Tarakan. Kutinggalkan Solo untuk mengabdi di Borneo sebagai dokter muda.
Menjadi dokter di pedalaman adalah impianku sejak belia. Karena itu, aku mengiyakan tawaran untuk membantu Puskesmas di pedalaman Sungai Kepuyan selama enam bulan ini.
Dua anak remaja ikut menyambut kami. Mereka membawakan tas berisi pakaian dan obat-obatan yang aku bawa di perahu.
Kami menginap di rumah sang kepala kampung. Rumah lamin panjang yang kini telah disekat jadi tiga. Bagian hilir dihuni putri Uku Ubung. Bagian tengah Uku Ubung. Paling ujung untuk tetamu.
“Sebentar kita makan sayur pakis buatan putri saya. Lauknya ikan patin. Hanya itu yang bisa keluarga kami siapkan untuk Pak Dokter dan Ijung,” kata pria renta yang telah lama menduda itu.
“Tidak apa-apa, Uku Ubung. Yang penting jangan tawari saya tuak nira lagi, ya,” candaku. Ia terkekeh.
Sejurus kemudian, putri Uku Ubung datang membawa hidangan. Berteman cahaya lentera, kami bersantap malam. Nikmat nian.
Selama makan, diam-diam aku mencuri pandang pada Inya, putri sang kepala kampung. Dia tampak malu-malu di hadapanku.
Setelah makan, karena kekenyangan dan kecapekan, aku segera pamit tidur. Suara jengkerik mengantarku tidur lelap.
*
“Tolong…tolong…Sapin mengamuk!” Aku terbangun kala mendengar teriakan warga kampung di pagi buta itu. Segera aku bangkit berdiri. Lewat sela-sela dinding kayu, aku mencoba melihat apa yang sedang terjadi.
Seorang pemuda membawa sebatang kayu. Matanya merah. Rambutnya tak terurus. Ia memukul-mukulkan kayu ke dinding rumah-rumah yang ia lewati.
Ia berhenti di depan tangga rumah. Tepat di depan bagian rumah yang ditinggali Uku Ubung. Ia marah-marah dalam bahasa daerah.
Uku Ubung membuka pintu. Dengan berani ia hadapi pemuda itu. Jantungku berdegup kencang. Apa jadinya jika pemuda itu menghantam Uku Ubung dengan kayu?
Uku Ubung komat-kamit merapal kata-kata yang tak kupahami maknanya. Anehnya, pemuda itu sontak terdiam.
Dua pria tetangga rumah datang mendekati si pemuda. Mereka meringkusnya. “Cepat ambil tali sebelum dia mengamuk lagi! Kita bawa dia kembali ke pondok pasungan!” seru salah satu dari dua lelaki itu pada orang-orang yang berdatangan.
“Tenang, Pak Dokter. Begitulah tabiat Sapin. Kalau mengamuk, hanya pada Uku saja ia tunduk,” tutur Uku Ubung setelah para pria berhasil mengikat Sapin dan membawanya ke pondok di ujung kampung.
“Kenapa bisa begitu, Uku?” selidikku.
“Karena…karena dia anak saya,” jawab Uku dengan suara parau. Inya datang mendekati ayahnya. Ia memeluk Uku Ubung yang tertunduk sedih.
Inya yang selama ini irit bicara tetiba membuka pembicaraan. “Pak Dokter, Sapin kena kutukan. Seperti adik laki-laki kami yang meninggal dua tahun lalu.”
Aku terkejut. Aku baru tahu bahwa Uku Ubung punya dua anak laki-laki. Aku pikir, Inya anak tunggalnya.
“Apa yang terjadi dengan adikmu, Inya?”
“Dulu dia dipasung di seberang sungai. Suatu hari ia lepas dan ingin kembali ke kampung, tapi tewas tenggelam saat menyeberangi sungai kala hujan deras,” kenang Inya.
“Oh, lalu kenapa kamu katakan dua adikmu kena kutukan?”
Inya menghela nafas panjang. “Orang-orang kampung yang bilang begitu. Dulu kakek kami pernah tersesat di hutan berbulan-bulan. Ketika pulang kampung, dia linglung. Lantas tetiba mengamuk dan melukai orang. Akhirnya orang kampung memasung dia di seberang sungai.”
Aku tercenung. Mencoba mencerna apa yang terjadi. “Inya, coba engkau pikir. Kalau benar itu kutukan, mengapa ayahmu dan kamu sehat-sehat saja?”
“Mungkin karena aku perempuan. Ayahku luput mungkin karena dia sudah buat upacara adat untuk meminta maaf pada roh-roh di hutan Apo Luan,” tutur gadis berpipi lesung itu.
“Inya, bukannya aku tak hormati kepercayaan di kampung ini. Menurutku, apa yang dialami kakek dan dua adikmu bukan karena kutukan. Aku kasihan pada Sapin. Tolong antar aku ke pondoknya,” pintaku.
*
Setelah mengantar ayahnya untuk beristirahat di kamar, Inya meluluskan permohonanku. Kami berjalan menuju pondok dimana Sapin dipasung.
Pemuda itu menatapku tajam dari pondoknya. Kubalas dengan pandangan penuh iba.
Kakinya diikat sehingga ia tak bisa bebas bergerak. Tangan kirinya juga diikat ke dinding pondok sehingga hanya tangan kanan saja yang bebas ia gerakkan untuk makan dan minum.
“Inya, tolong terjemahkan. Bilang ke adikmu bahwa aku Dokter Rian. Aku tidak ingin mengganggu. Cuma ingin mengobati luka-luka di tubuhnya,” bisikku pada Inya.
Sapin mengangguk setelah mendengar kata-kata Inya. Meski aroma tinja menguar di pondok itu, aku nekat mendekat untuk mengobatinya. Malang nian.
“Luhat…Luhat…ooo Luhat…” Sapin berbisik lirih. Aku tak paham maksudnya. Kubalikkan badanku. Meminta penjelasan pada Inya.
“Luhat itu adik kami yang meninggal,” kata Inya.
Mungkin karena sedih mendalam setelah kepergian Luhat, Sapin tenggelam dalam depresi akut. Begitu pikirku.
“Sapin orangnya pendiam, Pak Dokter. Setelah Luhat tenggelam, Sapin tidak mau bicara lagi,” kisah Inya.
Kulihat nasi dan sayur basi yang tak habis ia makan di dekat Sapin duduk meringkuk. Juga sebuah tempayan berisi air yang kuragukan kebersihannya. Setelah membebat luka-luka di kaki dan tangan Sapin, aku meninggalkan biskuit dan air mineral bekalku.
“Inya, kita tidak bisa biarkan adikmu Sapin dipasung begini. Justru akan semakin parah kesedihannya. Kita harus bicara dengan ayahmu. Sapin perlu perawatan di Tarakan,” jelasku.
Inya mengangguk. Kami beranjak pulang ke rumah lamin. Ketika aku menuruni tangga pondok pasungan, datang sesosok pria renta.
“Uku Ubung, sudah baikan? Kenapa menyusul kami?” tanyaku.
Ia tak segera menjawab. Air matanya menetes.
“Pak Dokter, ini semua salah Uku. Uku dulu suka pukul Sapin dan Luhat. Uku malu kalau mereka buat salah di hadapan orang kampung,” tuturnya penuh sesal.
“Sudahlah, Uku. Maksud Uku tentu baik waktu itu. Yang lalu biarlah berlalu. Sekarang kita upayakan perawatan untuk Sapin,” hiburku.
“Pak Dokter, bolehkah Inya ikut Pak Dokter ke Tarakan? Menemani Sapin,” pinta dara paramarta itu.
“Inya, tentu boleh. Satu hal yang aku pinta. Jangan panggil aku Pak Dokter. Panggil saja Anto.”
Angin segar bertiup dari hulu, dari rimba Apo Luan. Seekor burung enggang berkaok riang di ketinggian. Berdendang untuk mentari pagi yang bersinar cerah di atas Long Serun.
Penulis: Erbe untuk Inspirasianakita.com
Facebook Comments