Baru-baru ini kita membincangkan tentang hukuman mati. Tahukah Anda bahwa ada banyak insan mulia yang peduli pada mereka yang dijatuhi hukuman mati? Salah satunya adalah Suster Gerard Fernandez.
Siapakah Suster Gerard Fernandez? Pertanyaan ini amat wajar kita lontarkan karena dunia lebih mengenal Suster Teresa dari Kalkuta dan Suster “Irma Dulce”, dua suster pemerhati kaum miskin, daripada Suster Gerard.
Nama Suster Gerard Fernandez, biarawati kelahiran tahun 1938 ini baru tenar setelah BBC memasukkan namanya dalam daftar 100 Wanita Paling Inspiratif Dunia Tahun 2019. Selain itu, kisah nyata karya Suster Gerard di antara para terpidana mati di Singapura telah diangkat menjadi film pendek oleh sineas berbakat Chai Yee Wei. Film produksi 2018 tersebut dapat ditonton di Youtube dengan kata kunci pencarian “Sister by Chai Yee Wei”.
Suster Gerard Fernandez memang pantas menjadi inspirasi dunia karena ia mengabdikan seluruh hidupnya bagi Tuhan dengan mencintai sesama manusia yang paling disingkirkan: para terpidana mati.
Dampingi Terpidana Kasus Besar
Suster Gerard Fernandez bergabung dengan kongregasi biarawati “the Good Shepherd Sisters” atau Para Suster Gembala Baik, pada usia 18 tahun. Ia mulai mendampingi para terpidana mati sejak ia berusia 36 tahun. Sampai masa pensiunnya pada 2017 lalu, Suster Fernandez telah mendampingi 18 terpidana mati selama 35 tahun pengabdiannya.
Terpidana mati yang ia dampingi termasuk terpidana kasus-kasus besar di Singapura. Dua terpidana mati pertama yang didampingi Suster Gerard adalah Catherine Tan Mui Choo dan Hoe Kah Hong. Dua wanita ini membantu Adrian Lim dalam pembunuhan dua anak pada tahun 1981.
Kasus itu dilatarbelakangi motif pengorbanan anak untuk ritual mistis di Toa Payoh. Kasus itu dikenal sebagai “pembunuhan ritual Toa Payoh”. Ketiga pelaku dihukum gantung pada 25 November 1988.
Suster Gerard Fernandez sangat terpengaruh oleh tragedi itu karena dia mengenal salah satu korban, yang baru berusia 9 tahun, dan dia juga mengenal ayah Catherine Tan, salah seorang pembunuh.
Dia menulis surat kepada Catherine Tan sebagai wujud cinta tulusnya. Catherine menjawab surat itu setelah enam bulan, dengan menuliskan di bagian akhir suratnya: “(dari) Catherine, seekor domba hitam.”
Suster Gerard terpanggil untuk meneladan Yesus yang mencari domba yang hilang. Biarawati bersahaja itu lantas secara rutin mengunjungi Catherine di penjara. Kepada sang biarawati, Catherine sambal menangis berkata,”Suster tidak mengutuk saya. Tolong bantu saya berubah.”
Penolakan oleh Kerabat Korban
Kebaikan Suster Gerard pada terpidana mati tak lantas membuatnya selalu didukung. Penolakan oleh kerabat korban adalah hal lumrah yang dialami Suster Gerard.
“Mengapa kamu harus membantu mereka? Mengapa kamu harus mendampingi orang yang telah melakukan begitu banyak kejahatan?” demikian protes seorang kerabat salah satu korban.
Meski demikian, Suster Gerard tiap minggu selama tujuh tahun dengan setia mendampingi Catherine dan Hoe Kah Hong sampai hukuman gantung menjemput.
Mulai saat itu, Suster Gerard mendampingi lebih banyak lagi terpidana mati. Ia merangkum pengalamannya mendampingi para terpidana mati dengan berkata,”Mereka mulai menyadari bahwa maut akan menjemput. Saya mendampingi mereka guna menyiapkan hati mereka untuk saat terakhir itu.”
Perlakuan Lebih Manusiawi
Suster Gerard adalah perintis pendampingan rohani bagi para terpidana mati di Singapura. Ia berupaya agar para terpidana mati mendapatkan perlakuan yang lebih manusiawi.
Pada dekade 1980-an, Singapura hanya membolehkan terpidana mati dihukum dengan mengenakan pakaian narapidana. Akan tetapi, berkat upaya Suster Gerard, otoritas penjara Singapura akhirnya mengizinkan para terpidana mati mengenakan pakaian favorit mereka saat dihukum mati.
Tiga hari sebelum Catherine dan Hoe Kah Hong dihukum gantung, pada Jumat, 25 November 1988, Suster Gerard meminta tolong seorang biarawati untuk menjahit gaun-gaun satin biru dan menyiapkan sepatu putih bagi dua terpidana mati itu.
Saat Catherine dan Hoe Kah Hong mengenakan gaun indah itu, mereka bertanya,“Bagaimana penampilanku?” Bagi Suster Gerard, pertanyaan itu menandakan bahwa mereka telah mampu menghargai diri mereka sendiri. Mereka telah bertobat dan mengampuni diri mereka sendiri atas apa yang telah mereka lakukan. “Saya tersentuh oleh transformasi yang saya lihat dalam diri mereka,” kenang Suster Gerard.
Berkat kasih tulus Tuhan Yesus melalui Suster Gerard, Catherine Tan kembali ke iman Katolik yang sebenarnya telah ia kenal sejak masa kecilnya. Sementara itu, Hoe Kah Hong akhirnya meminta dibaptis sebagai seorang Katolik.
Dengan kerendahan hati yang istimewa, Suster Gerard berkata pada wartawan yang mewawancarainya,”Masih ada harapan di hati para terpidana mati. Inilah yang mengubah diri saya.” Ya, Suster Gerard justru diubah oleh perjumpaan dari hati ke hati dengan terpidana mati yang dibenci dan ditolak oleh masyarakat.
Terima kasih, Suster Gerard. Semoga semakin banyak orang tergerak untuk ikut mendampingi para narapidana, khususnya terpidana mati dengan kasih tanpa syarat.
Diolah dari aletheia.org dan straitstime.com
Bobby Steven MSF
Pernah mendampingi napi di Yogyakarta
Facebook Comments