Sudah agak lama saya memendam keinginan untuk menulis tentang kakek saya. Saat ini menjadi saat yang tepat bagi saya untuk mengisahkan almarhum Kapten Hendrik Kartono, kakek saya dari pihak ibu.
Hendrik Kartono lahir pada 1929 dan wafat pada tahun 1992 di Yogyakarta. Semasa hidupnya, beliau adalah seorang anggota Tentara Nasional Indonesia.
Kakek saya memang tidak pernah mengangkat senjata untuk melawan penjajah atau menumpas pemberontakan. Meski demikian, pengabdiannya selama puluhan tahun sebagai anggota TNI hingga pensiun diganjar negara dengan hak untuk dimakamkan di taman makam pahlawan.
Lebih dari itu, teladan hidup dan warisan keutamaan kakek saya bagi generasi penerusnya, dalam pandangan kami adalah alasan utama untuk menyebutnya pahlawan keluarga.
Kartono, kakek saya, mengawali kariernya sebagai tentara berpangkat rendahan di sebuah kabupaten di DI Yogyakarta. Anak pertama dari empat bersaudara ini pada awal bertugas di kesatuannya diserahi tanggung jawab sebagai sopir.
Dengan setia kakek saya menjalankan tugasnya mengendarai truk militer untuk mengangkut tentara dan atau logistik dari kota kabupaten ke pusat kota Yogyakarta. Karena kami tidak pernah mendengar kisah kecelakaan dari penuturan beliau, kami andaikan beliau memang tidak pernah terlibat kecelakaan serius sebagai sopir militer. Artinya, beliau menjalankan tugas dengan penuh kehati-hatian.
Bila sosok tentara umumnya digambarkan sebagai sosok yang menyeramkan, kakek saya jauh dari gambaran umum tersebut. Beliau ramah dan murah senyum.
Setelah tugas di tanah kelahiran, beliau dipindahtugaskan ke sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Belum lama bertugas di situ, beliau kembali diminta memenuhi panggilan negara untuk bertugas di Bangkinang. Kota ini merupakan ibu kota Kabupaten Kampar, Riau. Jaraknya 60 km dari ibu kota Riau, Pekanbaru.
Pada masa itu, transportasi utama antarpulau kiranya masih menggunakan kapal laut. Pemerataan pembangunan juga belum seperti sekarang. Bisa dibayangkan, tentu tak mudah bagi keluarga kakek saya untuk pindah dari “kenyamanan” Jawa ke Sumatera yang belum pernah dikenal kakek saya.
Ibu saya masih ingat, di asrama tentara Bangkinang, rumah dinas hanya dua kamar saja. Padahal, waktu itu kakek dan nenek sudah memiliki enam anak yang masih remaja dan kecil-kecil. Akhirnya anak-anak tidur berdesak-desakan, mirip ikan asin yang dijemur:)
Setelah beberapa lama, kakek saya pindah tugas ke Tanjung Pinang di Pulau Bintan (sekarang Provinsi Kepulauan Riau). Selama bertugas sebagai tentara, kakek saya hidup sederhana. Ia mencukupkan diri dengan gaji yang ia terima.
Ia dekat dengan semua kalangan, termasuk para pengusaha. Akan tetapi, tak pernah sekali pun kakek saya meminta “uang keamanan” pada para pengusaha di wilayah tugasnya sebagai tentara.
Jika ada pengusaha yang memberi hadiah kecil-kecilan secara suka rela, barulah kakek saya terima. Karena itu, para pengusaha sangat senang bersahabat dengan beliau.
Terbukti, ketika kakek saya pindah tugas ke daerah lain, para pengusaha dan segenap rekan tentara serta warga biasa sangat merasa kehilangan sosok tentara yang budiman dalam diri kakek saya. Ketika acara perpisahan, tak sedikit yang terharu melepas kepergian kakek saya ke tempat tugas baru.
Dua Pahlawan Keluarga
Di balik pria yang kuat, ada wanita yang setia. Demikian kira-kira isi sebuah ungkapan tersohor. Demikian pula, di balik kakek saya yang kuat pendirian dalam kebaikan, ada sosok nenek saya yang setia dan penuh perhatian.
Gaji kakek saya sebagai tentara tentu tidak cukup untuk membiayai keluarga dengan banyak anak. Syukurlah, nenek saya bekerja keras untuk ikut menjaga asap dapur tetap mengepul.
Menurut penuturan ibu saya, nenek saya adalah wanita yang istimewa. Sembari mengurus banyak anak (totalnya bisa buat satu kesebelasan), nenek saya giat mencari rezeki dengan berdagang. Nenek saya membeli bumbu dapur kiloan, lalu membagi dan membungkusnya dalam kantong-kantong kecil untuk dijual kepada tetangga di kompleks asrama tentara.
Bisnis kecil-kecilan ini ia tekuni hari demi hari hingga modal usaha bertambah. Dari pengusaha sangat mikro, nenek saya bertumbuh jadi pengusaha menengah. Ia berjualan pakaian. Jika tidak keliru, nenek saya bolak-balik Singapura-Tanjung Pinang untuk berdagang.
Setahu saya, waktu itu memang ketentuan perbatasan tidak seketat sekarang. Warga Indonesia yang tinggal dekat Singapura lebih bebas keluar-masuk ke Pulau Singa itu.
Berkat ketekunan dan kerja keras nenek saya dalam menyokong ekonomi keluarga, kakek saya merasa tambah didukung dalam menjalankan tugasnya sebagai tentara dengan jujur.
O ya…tadi saya sampaikan bahwa kakek saya bukan sosok menyeramkan. Itu betul, namun bukan berarti dia sama sekali tidak “menyeramkan” bagi anak-anaknya.
Ibu saya pernah diguyur dengan air seember karena dibangunkan kakek saya di pagi hari, namun malah tidur lagi. He he he…. Untung ibu saya tidak “membalas dendam” pada saya. Saya pernah juga malas bangun, tapi tidak pernah diguyur air seember:) Paling dimarahi saja.
Singkat kata, kakek saya sebagai tentara juga tentu menanamkan sikap disiplin di tengah keluarga. Sayang ya sayang, tapi juga “tega” demi kebaikan anak-anak.
Meskipun tidak sempat mengenal kakek saya dalam waktu lama karena beliau wafat pada tahun 1992, disusul nenek lima tahun kemudian, saya merasa bahagia boleh mengalami kasih-sayang dua pahlawan keluarga kami: alm. kakek dan nenek H. Kartono.
Saya dan Anda Bisa Jadi Pahlawan
Tentu saja, saya sangat bangga menjadi cucu seorang pahlawan negara. Akan tetapi, kebanggaan itu juga membawa serta pasangannya, yakni panggilan untuk cinta negara.
Apa kata dunia jika anak dan cucu seorang pahlawan kelakuannya tak bisa diteladani? Apa kata Ibu Pertiwi jika generasi penerus seorang pahlawan ternyata kurang berkontribusi bagi kemajuan bangsa?
Saya pikir, semua orang yang budiman adalah pahlawan. Tak harus jadi tentara. Tak harus mendapat privilese dimakamkan di taman makam pahlawan seperti almarhum kakek saya.
Anda dan saya bisa jadi pahlawan negara dengan menjalankan pekerjaan dan aktivitas sehari-hari dengan hati dan cinta tulus bagi negeri.
Bobby Steven untuk Inspirasiana
Facebook Comments