Pixabay..com/tndoit

Ada orang-orang menyampaikan kebenaran sesuai dengan kepentingannya, bukan sesuai dengan kebenaran. Karena itu tidak sedikit orang tersesat di jalan yang benar.

Sejatinya kebenaran untuk meluruskan jalan yang salah jadi sebaliknya, membelokkan jalan yang benar.demi tujuan yang sudah tidak sesuai kebenaran lagi.

Waktu itu sudah merambat malam. Kantuk sudah mulai menyerang. Spontan saya secara iseng memberikan sebuah pertanyaan pada teman yang ada di seberang sana melalui WhatsApp.

Awalnya saya sendiri tidak tahu tujuannya apa. Karena memang spontanitas saja. Setelah itu juga spontan juga saya menyimpulkan.

“Ada dua buah apel di meja. Saya ambil satu. Sekarang apel ada tinggal berapa?”

Lama belum ada jawaban. Saya berpikir mungkin ia sedang membuka primbon mencari jawabannya yang tepat.

“Dua buah.”
Jawaban muncul juga akhirnya.

“Kok dua?” tanya saya untuk meyakinkan.

“Iya, masih dua. Kan yang diambil belum dimakan.” Sampai di sini ternyata pintar juga dia.

Sebenarnya saya sudah ingin mengatakan bahwa jawabannya benar. Jadi selesai sudah urusan. Namun, kalau hanya begitu saja selesai tentu tidak seru, bukan?

Sekali lagi, spontan muncul ide lain untuk melanjutkan. Dengan harapan sedikit perdebatan atau katakanlah diskusi.

“Kok yakin belum dimakan? Emang harus dimakan? Bisa aja kan saya buang?” Ternyata saya juga pintar mempermainkan kata-kata.

Tiba-tiba muncul jawaban yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Lalu saya memberikan jawaban, “Kalau saya jawab tiga, gimana?”

“Boleh, tapi harus diberikan satu bukti apa yang dikatakan itu adalah satu fakta bukan hanya kata.” Ia meminta bukti.

Bagaimana?

“Ya, ada tiga apelnya menurut saya dengan bukti dan fakta yang saya miliki.” Saya buktikan dengan jawaban meyakinkan. Padahal bukti dan fakta yang sulit dibuktikan. Karena hanya ada di batok kepala saya.

Tentu saja masih bikin penasaran dan belum bisa meyakinkan. Ia penasaran, “Dalam deskripsi pertanyaan cuma ada dua apel, kok sekarang muncul jadi tiga?”

“Yang dua kan di atas meja, satunya lagi di bawah meja.”

Jawaban yang mungkin bikin kesal dan sewot. Padahal saya sendiri senyum-senyum. Kemudian ia bilang, “Berarti soalnya yang salah.”

Saya jawab, “Tidak salah. Sebaliknya yang menjawab yang salah.”

Apa tidak tambah merenggut?

“Kenapa salah?”

“Kenapa fokus yang di atas meja, gak nanya yang di bawah meja?”

Sebenarnya mau menjawab 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya akan selalu benar. Tergantung maunya saja. Saya jawab tiga karena yang paling dekat dengan 2.

Akhirnya saya berkata, “Sebenarnya saya hanya ingin mengatakan intinya kebenaran itu dalam hal apapun sering kali digunakan sesuai dengan kepentingan saja.”

Bukankah demikian?

Seperti cerita dua apel di atas. Bisa saja saya berkeras buah apel itu tinggal satu, karena yang satu lagi sudah saya buang.

Bisa juga saya bilang ada 4 atau 5, karena selain di atas meja ada dua di bawah meja masih ada dua atau 3 buah. Mau bilang ada 100 buah juga bisa. Tinggal bilang di samping meja masih ada satu keranjang yang berisi 98 buah apel.

Jangankan urusan dunia, bahkan Firman Tuhan pun bisa disamarkan sesuai dengan kepentingan kelompoknya, bukan sesuai kebenaran.

Apabila tidak menggunakan kearifan dan akal sehat, berjalan di jalan yang benar pun bisa tersesat. Membunuh orang lain, bahkan dirinya pun bisa dianggap sebagai kemuliaan.

Jadi, dalam memahami kebenaran akal sehat sangat berperan, jangan justru disesatkan kebenaran yang sesuai kepentingan.

Apa gunanya berdebat urusan apel ada berapa buah di meja kalau hanya menghabiskan kata dan energi?

@cermindiri, 08 Desember 2022

Catatan: gambar dari pixabay.com/tndoit

Facebook Comments