Balada Tukang Becak

Belum lama ini seorang tukang becak berpulang di atas becaknya di Jalan Diponegoro, Jetis, Yogyakarta, pada Rabu malam (5/2). Penarik becak ini tanpa identitas. Kejadian serupa pernah terjadi pada 2023 lalu.

Unggahan berita meninggalnya tukang becak mendapat tanggapan dari warganet. Semua bersimpati. Rupanya cukup banyak tukang becak di Yogya berusia senja dan tak punya rumah. Ada pula tukang becak yang baru pulang setelah menunggu beberapa hari sampai uang terkumpul.

Pengamatan penulis, sebagian tukang becak bahkan meminta sumbangan di perempatan jalan. Alasan utama, mereka kalah bersaing dengan ojek daring sehingga pemasukan menipis. Demi menyambung hidup, para penarik becak ini memberanikan diri mencari sumbangan sukarela di jalanan.

Becak kayuh tersingkir

Fakta di lapangan menunjukkan, becak kayuh semakin tersingkir. Bukan saja oleh ojek dan mobil sewaan, namun juga oleh becak bermotor. Becak kayuh kini kalah cepat, kalah murah, dan kalah nyaman.

Tampak bahwa sebagian besar pengayuh becak berusia paruh baya dan lanjut usia. Mereka sulit beralih profesi karena faktor usia, keterbatasan wawasan digital, dan minimnya modal. Mirisnya lagi, sepertinya kepedulian nyata dari pemerintah masih minim.

Pada masa jayanya, becak kayuh menjadi andalan transportasi warga. Becak kayu juga menjadi penanda geliat perekonomian perkotaan dan perdesaan. Kala itu warga bahkan memiliki tukang becak langganan yang setia mengantar sambil bercengkerama.

Seiring perkembangan zaman, becak kayuh di ibu kota dianggap membebani jalanan sehingga perlu dibatasi secara masif. Gerak cepat zaman kiwari seolah terlalu laju bagi becak kayuh untuk sekadar bertahan.

Siapa peduli?
Berhadapan dengan situasi yang kian tak menguntungkan, para tukang becak kayuh perlu mendapatkan perhatian. Siapa (yang seharusnya) peduli?
Seperti yang baru saja terjadi dalam tewasnya seorang tukang becak di Yogya, sebagian dari penarik becak bahkan tak punya kartu identitas resmi. Mereka menjadi bagian dari masyarakat ekonomi lemah yang sering luput dari program resmi bantuan sosial negara.

Salah satu kelemahan utama sistem bantuan sosial kita ironisnya adalah metode pendataan yang minim evaluasi dan pengawasan. Yang tidak berhak justru sering menerima. Yang berhak malah dibiarkan merana.

Para tukang becak adalah juga warga negara yang patut mendapatkan hak-hak dasariah mereka. Melihat status ekonomi dan usia, sebagian besar penarik becak masuk kategori prioritas untuk diperhatikan dan dibantu.

Paus Fransiskus mengemukakan bahwa salah satu ciri masyarakat yang baik adalah kepedulian pada kaum lansia, terlebih yang papa. Kita tidak boleh memperlakukan insan sebagai beban. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong yang tersingkirkan dan terlupakan.

Masyarakat yang menepikan kaum lanjut usia dan miskin adalah masyarakat yang sakit secara rohani. Sebenarnya, kita sangat bersalah membiarkan seorang miskin meninggal di jalanan.

Kita sepantasnya berbuat sesuatu untuk menolong para tukang becak di sekitar kita. Mereka seharusnya segera didata, dibina, dan dibantu secara berkelanjutan.

Becak kayuh masih memiliki keuntungan dibanding moda transportasi modern. Pertama, becak kayuh ramah lingkungan karena tanpa emisi. Untuk rute-rute dekat dan zona tertentu, bukankah lebih cocok menggunakan transportasi hijau?

Kedua, becak kayuh memiliki nilai estetika dan promosi wisata. Terbukti, wisatawan nusantara maupun mancanegara hingga kini masih berminat menggunakan jasa becak kayuh untuk berkeliling kota. Corak hiasan becak kayu pun bisa menjadi wahana pelestarian budaya dan penyampaian pesan mulia.

Ketiga, becak kayuh bisa diintegrasikan dalam tata perkotaan dan tata transportasi publik. Becak kayuh yang lincah di jalur sempit bisa menjadi moda pengumpan (feeder) bagi jalur bus kota, misalnya.

Becak kayuh juga bisa dijadikan mitra sekolah, perumahan, dan rumah ibadat. Jika di sejumlah negara maju saja masih ada transportasi umum bertenaga manusia, mengapa becak kayuh seolah harus ditepikan di Indonesia?

Bobby Steven
Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma
Bobby Steven

Facebook Comments