Kampus Kelola Tambang dan Novel “1984”

Penulis: Bobby Steven
Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Akhir-akhir ini muncul polemik mengenai rencana untuk melibatkan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang. Gagasan itu muncul dalam rapat pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang mineral dan batu bara (minerba) yang diadakan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada 20/12.

Ayat (1) Pasal 51A menyebutkan, wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dapat diberikan kepada perguruan tinggi atau kampus dengan cara prioritas.

Sontak gagasan ini menuai pendapat pro dan kontra. Pemberian pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi diusulkan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia. Forum Rektor Indonesia mendukung gagasan kampus mengelola tambang demi meningkatkan pendapatan. Syaratnya, perguruan tinggi itu telah memiliki status badan mukum (BHP) dan unit usaha sendiri

Pertanyaan kita, apakah kampus mampu ketika diberi kesempatan mengelola tambang? Guna menjawab pertanyaan ini, kita perlu mempertimbangkan identitas perguruan tinggi, tren pengembangan energi dunia, dan kewaspadaan terhadap campur tangan kepentingan politis dalam pendidikan.

Identitas perguruan tinggi
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang perguruan tinggi (UU Dikti) menegaskan tugas pokok perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Ditilik dari identitas dasariah kampus ini, pengelolaan usaha, termasuk tambang, sebenarnya bukanlah domain perguruan tinggi. Celakanya, Pasal 64 Ayat (1) UU Dikti menyebutkan bahwa otonomi pengelolaan PT meliputi bidang akademik dan nonakademik. Otonomi bidang nonakademik mencakup, antara lain, otonomi keuangan (Pasal 64 Ayat 3).

Idealnya, Perguruan tinggi menjadi institusi yang mempunyai kekuatan moral untuk menjadi panutan bagi masyarakat (Brodjonegoro, 2022). Setali tiga uang, perguruan tinggi seharusnya menjadi penjaga moral publik (Rohman, 2022). Pemberian tambang untuk dikelola kampus bertentangan dengan peran mulia kampus sebagai lembaga independen yang menjaga kewarasan akal dan moral publik.

Tambah lagi, kampus saat ini sudah dibuat lelah dengan aneka hal administratif dan beban nonakademik yang tidak masuk akal. Kampus bisa kelabakan jika memaksakan diri mengelola tambang. Sumber daya kampus terancam semakin tergerus bila masih sibuk mengurus perkara lain di luar misi utamanya, yakni Tridharma Perguruan Tinggi.

Penting disadari, diperlukan kemampuan teknis manajerial dan finansial yang mumpuni untuk mengelola usaha sebesar pertambangan. Apa masuk akal memberikan beban itu pada kampus?

Selain itu, penentuan prioritas bagi kampus tertentu untuk mengelola tambang akan memicu polemik tak berkesudahan. Jika pengelolaan tambang hanya diberikan pada kampus yang sebenarnya masih cukup atau bahkan sangat mampu, bagaimana nasib kampus-kampus lain yang seolah dibiarkan hidup segan mati tak mau?

Tren energi bersih

KTT G20 Indonesia antara lain menetapkan bahwa emisi dari sektor listrik akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 melalui Kemitraan Transisi Energi Adil (JETP) senilai USD 20 miliar. Meskipun target JETP belum memenuhi harapan Perjanjian Paris 1,5°C, hal ini masih memungkinkan penerapan energi terbarukan secara cepat, peningkatan langkah-langkah efisiensi energi, dan inisiasi pensiun dini (phase-down) PLTU batu bara sebelum tahun 2030 (Kurniawan, dkk 2023).

Perusahaan Listrik Negara pun telah mengeluarkan 13 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga batu bara dari rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) dan membatalkan kontrak 1,3 gigawatt (GW) PLTU batu bara (Kompas.com, 19/10/2023).

Melihat tren energi dunia dan Indonesia yang mengarah pada energi bersih, pemberian kewenangan pada kampus untuk mengelola tambang batu baru menjadi kontraproduktif. Kampus justru seharusnya mengawal transisi dari energi berbasis fosil ke energi bersih, bukan sebaliknya malah menikmati pendapatan dari energi kotor.

Selain itu, lubang-lubang bekas tambang terbukti merusak alam dan mengancam keselamatan jiwa warga. Reklamasi bekas tambang tak semudah membalikkan telapak tangan.

Kepentingan politik
Wacana pemberian kesempatan bagi kampus untuk mengelola tambang juga rawan ditunggangi kepentingan politis pihak tertentu untuk membungkam daya kritis perguruan tinggi. Hal serupa terjadi pada organisasi keagamaan yang juga coba dikendalikan dengan tawaran tambang.

Lembaga keagamaan dan kampus sepertinya hendak dilemahkan. Mau ke mana demokrasi dan pendidikan kita? Jangan sampai semangat reformasi dipadamkan dengan tawaran konsesi tambang yang serampangan.

Alih-alih menjamin hak kampus untuk menjalankan tugas utamanya, pemberian peluang mengelola tambang menjadikan kampus semakin berat melangkah. Seolah eksekutif dan yudikatif tampil sebagai sinterklas yang bagi-bagi konsesi tambang.

Padahal, lembaga keagamaan dan pendidikan adalah rujukan utama bagi masyarakat untuk memahami kebenaran dan keadilan demi terciptanya kesejahteraan bersama.
Lembaga agama dan pendidikan berfungsi mencegah terjadinya kemerosotan akal dan moral akibat akal bulus oknum politikus yang tidak tulus.

Pemberangusan suara kritis lembaga keagamaan dan pendidikan melalui tawaran pengelolaan tambang bisa ditafsirkan sebagai penghilangan kata-kata pemberontakan dalam novel distopia George Orwell yang bertajuk “1984”.

Secara cerdik, Orwell melalui susastera anggitannya telah memperingatkan kita akan bahaya kediktatoran penguasa. Alkisah, Winston Smith si tokoh utama tinggal di sebuah negara di mana partai politik menentukan apa yang boleh ditulis dalam sejarah. Bahkan, partai itu membuat bahasa baru bernama “Newspeak” yang menghilangkan kata-kata terkait pemberontakan. Tujuannya agar warga tunduk pada penguasa tiran.

Akhir kata, jangan sampai pembungkaman daya kritis publik dan kaum terpelajar dalam novel “1984” karya George Orwell terulang lagi pada tahun 2025 ini melalui pemberian kesempatan pengelolaan tambang.

Facebook Comments