Tiga minggu sebelumnya. Sepatu coklat kesayanganku berubah warnanya, begitu langkah kaki ini menapaki jalan setapak yang berwarna coklat bercampur hitam. Hamparan lahan kurang lebih seluas empat hektar itu menyisakan sedikit warna kuning, berasal dari sisa rumput kering yang terdesak di antara jelaga yang menghitam.
Angin yang bertiup kencang di sore itu, menerbangkan jelaga, sisa rumput yang terbakar. Tidak ada lagi sisa pohon tua yang tergeletak di tengah hamparan lahan itu, yang biasa kulewati setiap berolahraga di sana.
Hanya tersisa abu, tersebar sepanjang tinggi pohon yang rebah, dan aromanya yang kuat memberi tanda bahwa pohon itu baru terbakar mungkin pada malam sebelumnya.
Tempat favorit anak muda
Ada rasa sedih menyergap seketika, saat melihat rumput di sana terbakar. Bahkan beberapa pohon yang ada di sana, turut meranggas. Pada bulan Desember hingga pertengahan April, saat hujan masih rajin mengunjungi bumi, Bukit Cinta Kupang, demikian mereka menamakan tempat ini, terlihat hijau di mana-mana.
Tempat ini ramai saat tanah berbukit ini menghadirkan rumput yang hijau. Menyegarkan mata. Menutupi karang-karang yang hitam. Beberapa kelompok anak muda akan berfoto ria di sana. Semilir angin dan sinar matahari yang hangat melengkapi kegembiraan mereka.
Pada sisi lain yang rumput keringnya masih tersisa, menjadi tempat terbaik untuk untuk pemotretan. Kira-kira suasananya akan terlihat seperti salah satu negara bagian Paman Sam. Suasana yang kering dan angin yang bertiup kencang tidak dapat menutupi sumringah di wajah mereka.
Rumput kering terbakar
Pagi ini. Pemandangan yang menyedihkan terbentang di depan mata. Warna oranye disertai kepulan asap pada bagian ujungnya, bergerak begitu cepat, melalap rumput kering yang menghadang di sisi bagian barat. Angin yang bertiup kencang di Sabtu pagi ini membuat pergerakan api begitu cepat meluas.
Pak Yohanes, yang biasa mengumpulkan rumput kering di tempat ini bergegas mencoba mematikan api menggunakan ranting dedaunan yang ada. Aku juga berusaha sebisaku mengumpulkan ranting hijau untuk membantu Pak Yohanes. Setidaknya, tumpukan rumput yang telah diikat oleh para pengumpul rumput ini, tidak terbakar.
Kami mencoba membuat barrier atau pembatas dengan cara membakar terlebih dahulu bagian yang mengarah ke tempat penumpukan rumput, sehingga api yang lebih besar terhalang pada area yang telah dibakar.
Tidak banyak yang bisa kami lakukan di sana, namun setidaknya sedikit uang yang terkumpul dalam setiap ikatan rumput kering, tidak ludes terbakar.
Oleh penduduk setempat, rumput yang ada di Bukit Cinta akan dipakai sebagai pakan ternak. Ternak sapi yang akan dijual ke Pulau Jawa dan pulau lainnya di Indonesia, membutuhkan rumput kering sebagai pakan dalam perjalannya.
Pak Yohanes dan istrinya, Mama Elisabeth, adalah dua orang yang juga mencoba mengais tambahan pendapatan bagi keluarga mereka di tempat itu. Di akhir pekan seperti ini, pasangan suami istri ini akan berada di sana sejak pagi hingga menjelang senja hari.
Sebagai seorang kepala keluarga yang harus menghidupi seorang istri dan tiga orang anak, Pak Yohanes yang sehari-harinya bekerja di bengkel, perlu mendapatkan penghasilan tambahan untuk biaya kuliah dua orang anak dan biaya sekolah anak bungsunya.
Setiap ikatan rumput yang dikumpulkan diberi harga 1500 rupiah. Dalam sehari, bila mereka berdua bekerja dari pagi sampai sore hari, mendapatkan uang sebesar 75 ribu hingga 100 ribu rupiah.
Selalu ada harapan baru
Kehadiran para pengumpul rumput setahun belakangan ini di Bukit Cinta, mengurangi kebakaran lahan besar-besaran yang sering terjadi di musim kering seperti saat ini. Kecepatan angin yang sangat tinggi di bulan Juni hingga September setiap tahun memperparah kondisi kebakaran lahan.
Kebakaran besar-besaran yang terjadi saat ini, yang menghanguskan rumput kering, pastinya berdampak bagi Pak Yohanes, Mama Elisabet dan juga pencari rumput lainnya. Akan ada pengurangan penghasilan tambahan untuk beberapa waktu, menunggu hingga tunas muda muncul kembali.
Api yang merayap cepat ke bagian barat, meninggalkan asap dan jelaga yang beterbangan ditiup angin. Aku melihat kesedihan di sudut mata Pak Yohanes, namun lelaki tua itu mencoba tersenyum. Seolah mencoba menghiburku, semuanya akan baik-baik saja.
Ada pesan yang tertangkap dibalik setiap kerutan di wajah tua itu, bahwa selalu ada harapan baru di esok hari. Seperti rumput liar yang akan tumbuh menghijau, meskipun telah dibakar sekalipun. Dia akan memancarkan keindahan dan menghasilkan kebaikan bagi mereka yang menaruh harapan.
Facebook Comments