Oleh: Fauji Yamin

Basten nama panggilannya. Pria berkepala plontos berumur 57 tahun ini datang bertamu ke rumahku di desa. Ia mendengar kedatanganku ketika berpapasan dengan salah satu penduduk desa yang juga baru tiba dari kota.

Aku menjamunya di belakang rumah. Kami duduk di atas talud yang dibangun pemerintah guna mencegah abrasi. Tak lupa dua gelas kopi menjadi teman ngobrol sembari memandangi laut yang berada tepat di belakang rumah.

“ Tidak mancing Om Basten,” tanyaku.
“Tidak. Lagi fokus buat kopra,” jelasnya.
“Oh iya. Sudah sampai tahap mana,” selidikku.
“Sudah habis dipanjat. Sementara masih dikumpulkan,” jawabnya.
“Masih panjang dong,” ujarku mengingat proses pengolahan kelapa menjadi kopra membutuhkan beberapa tahap yang menguras tenaga.
“ Lumayan. Masih ada beberapa pohon juga yang belum dipanjat,” jawabnya.

Kami mengobrol cukup lama sebelum ia pamit pulang. Ia membuat janji sepihak bahwa malam nanti akan bertamu ke rumah. Aku memperhatikannya sedari tadi. Ada gundah yang tersimpan rapat di wajahnya.

Ia pun berlalu pergi sementara aku masih duduk menikmati pantai dan senja yang sudah lama ku rindukan ketika berada di tanah Jawa.
*

Pukul sepuluh malam, ketika perkampungan sudah mulai sepi, lampu-lampu sudah dipadamkan dan aktivitas masyarakat yang sebagian besar petani sudah mulai senggang, Basten datang berkunjung sesuai janji yang dibuatnya sore tadi.

Duduk ia di teras rumah menungguku pulang memancing. Ia tahu rutinitasku ketika kembali ke desa, kebanyakan aku habiskan memancing. Tiada hari tanpa memancing. Sebuah hobi yang bagiku sulit terwujud jika berada di Jakarta. Penduduk desa tahu, jika aku sudah datang maka ikan-ikan akan terjajah.

Aku baru pulang pukul sebelas malam. Melihat Basten duduk di teras rumah, aku langsung menyapanya sembari menunjukan hasil tangkapan yang hanya empat ekor dengan gaya sumringah.

Tak kusadari ia adalah pemancing paling hebat di kampung ini. Ketika hendak memasukkan ikan ke rumah lewat pintu depan, Basten menegurku,“ Lewat pintu belakang, Bang.”

Aku jadi ingat ada pantangan bagi penduduk desa. Ikan hasil pancingan tidak bisa dibawa masuk melalui pintu depan. Sebuah kepercayaan turun temurun yang wajib dijalankan. Kami sering di marahi jika melanggar pantangan tersebut.

Setelah masuk aku membersihkan diri lalu menemui Basten yang sedari tadi menungguku.
“Maaf bang, saya lupa kalau ada janji malam ini,” pintaku meminta maaf.
“Tidak apa-apa. Saya juga tahu pasti kamu sedang memancing. Jadi saya tunggu saja,”
“Jadi gimana bang,” selidikku.

“Tolong bantu saya, dong. Bikinkan aku proposal bantuan,” jawabnya. Aku seketika melongo. Proposal apa gerangan yang dimaksudkannya.
“ Proposal apa, Bang,” sahutku penasaran.
“Proposal bantuan buat dapat perahu,” terangnya.
“Loh bukannya itu urusan pemerintah desa,” sahutku lagi.
“ Ah selama ini pemerintah desa hanya mementingkan kolega dekat.Bahkan beberapa bantuan juga mereka peroleh. Padahal mereka bukan nelayan,” bebernya.

Aku menangkap sebuah fenomena klasik yang dihadapi Basten dalam keluh kesahnya. Keluh seperti ini kutemukan di berbagai tempat. Bantuan yang seharusnya untuk nelayan justru diberikan kepada yang bukan berprofesi sebagai nelayan.

Justru bantuan didapatkan petani yang hanya angin-anginan mencari lauk buat makan, dan kepada kepala desa sendiri untuk hasrat pribadi. Alhasil, bantuan-bantuan tersebut lebih banyak terparkir di pantai dan menjadi teman abadi waktu hingga rusak dengan sendirinya.

Beberapa kegunaan lain dari bantuan-bantuan ini dialihfungsikan sebagai alat transportasi warga ke pulau lain.

“Jadi mau dibantu bagiamana, Pak,” tanyaku.
“Bantu saya susun proposal bantuan. Saya sudah menyuruh beberapa orang namun hanya janji manis yang saya peroleh. Mereka hanya mengiyakan akan membantu namun sampai saat ini jangankan wujud proposalnya, kabarpun hilang entah kemana,” bebernya.

Basten pun membeberkan sudah banyak pihak yang mengetahui kesulitan yang dihadapinya, namun hingga pertemuan ini tak juga ada satu kabar yang didengarnya.

Pemerintah desa pun demikian. Sekian purnama berganti tak jua ia diprioritaskan mendapat bantuan atau sekedar diajukan.

Basten sendiri dulu memiliki satu perahu katinting namun karena suatu musibah perahunya hancur berkeping-keping. Banjir yang disertai kayu, batu, dan sampah dari hutan menghantam perahunya yang ia labuhkan di pesisir pantai. Sejak saat itu, ia tak lagi melaut dan mengisi keseharianya berkebun.

“Ya sudah, nanti saya bantu susun proposalnya. Tapi apakah Om Basten tergabung dalam kelompok nelayan,” tanyaku
“Saya tidak tergabung. Di sini tidak ada kelompok nelayan,” bebernya.
“Setahu saya jika mengajukan proposal bantuan harus bernaung di kelompok nelayan agar bantuan dapat diperoleh,” jawabku.

Ia pun nampak bingung dengan berbagai penjelasan yang aku berikan.
“Tidak apa-apa. Kita coba saja siapa tahu bisa. Nanti kumpulin saja KTP nya minimal lima orang,” sahutku.

Pukul satu dini hari obrolan kami sudahi. Wajah kelelahan sudah sangat nampak dari kami berdua. Ia berjanji akan menyetor permintaan saya dalam waktu dekat.

Dua hari berlalu sejak pertemuan itu, Basten tak juga nampak batang hidungnya. Menurut warga ia sedang sibuk mengasah parang guna melakukan pembelahan kelapa untuk dibuat kopra. Aku pun memaklumi aktivitasnya tersebut.

Baru di saat hendak pulang ke kota, saat sedang berjalan menuju pelabuhan, ia mencegatku di jalan dan menggiringku masuk kedalam sebuah rumah.

Dikeluarkan lima KTP yang ia kumpulkan beberapa hari dengan meyakinkan pemilik KTP terlebih dahulu. Mayoritas KTP milik saudara hingga anaknya.

Aku kemudian menyusun satu persatu KTP tersebut dan memfoto. Aku kemudian buru-buru ke pelabuhan dan di akhir pertemuan berjanji bakal membantunya menyusun proposal yang diminta.

Proposal tersebut aku selesaikan dalam dua hari kemudian dikirim ke anaknya yang sedang berkuliah di kota. Apesnya, setelah Pak Basten menerima proposal yang kubuat, ia menelepon dan mengungkapkan harus dikemanakan proposal tersebut. Ia tak pernah mengajukan sebelumnya perihal ini.

Akupun lantas memberikan instruksi bahwa ia harus menuju ibukota kabupaten untuk menyerahkannya ke dinas perikanan dan kelautan. Ia tak punya relasi orang-orang penting di dinas.


Selama ini dalam pengetahuannya, untuk mendapatkan bantuan diperlukan relasi. Banyak yang akhirnya tak menerima bantuan karena tidak memiliki relasi.

Kondisi ini membuatnya bimbang. Selain itu, untuk menuju ke ibukota kabupaten Ia harus lebih dulu ke kota lalu melanjutkan menaiki kapal ke tujuan semalam.

Biaya yang ia keluarkan cukup besar untuk pulang pergi. Namun karena dorongan yang cukup kuat, ia mau tak mau harus pergi.

Saat ini, Basten masih menunggu angin segar dari upaya yang ia harapkan. Bantuan kapal motor untuk kembali melakukan aktivitas melaut.

Basten hanyalah satu dari sekian nelayan yang dalam perjumpaanku mengalami stagnasi dari kebijakan yang salah sasaran. Dalam memperoleh bantuan pun terdapat banyak intrik, seperti punya relasi hingga sikap politik dalam desa. Kondisi ini menjadi sebuah fenomena yang hingga kini masih terus terjadi.

27 Mei 2022

Facebook Comments