Hikmah Perjalanan Seru Menuju Cagar Alam Mutis


Menjelang libur Lebaran yang cukup panjang kali ini, topik obrolan kelompok emak-emak berdaster semakin gencar seputaran destinasi wisata yang cantik.

Destinasi yang dituju adalah yang mudah dijangkau dan tentu saja, dari segi ilmu ekonomi emak-emak, irit namun memberi efek yang luar biasa.

Sensasi healingnya harus dapat. Demikian kesimpulannya. Maklum, selama ini sudah cukup sibuk dengan urusan kerja dan urusan dapur yang membuat lelah hayati.

Karena belum ada tanda-tanda pergerakan akan berangkat ke lokasi tujuan, padahal liburannya sudah lewat beberapa hari, akhirnya saya memutuskan untuk berangkat duluan.

Memantau dan melaporkan pada anggota grup, kondisi serta spot mana saja yang bisa dijadikan latar foto yang paling manis buat para emak. Setidaknya, sudut pengambilan mana yang paling tepat agar terlihat langsing dan semampai.

Penting untuk mengecek kondisi kendaraan
Daftar penting untuk perjalanan singkat kali ini dipersiapkan. Mulai dari menu makanan, obat-obatan hingga kostum yang akan dipakai, semua diperhatikan. Mobil pun tidak ketinggalan. Masuk bengkel, mengecek semua kondisinya biar aman dan tidak rewel selama perjalanan dan membuat hati terasa nyaman.

Hari keberangkatan. Pagi-pagi sekali Saya sudah bangun. Entah mengapa, pagi hari itu ada dorongan yang sangat kuat dari dalam diri untuk tinggal lebih lama berbicara dengan Sang Pemilik Hidup. Rasanya betah berada di sana, di sudut kamar dengan nyala lilin yang benderang.

Selesai berdoa, urusan dapur telah menunggu. Mempersiapkan sarapan buat anak-anak dan menu sederhana yang akan dibawa dalam perjalanan kali ini. Meski rempong, membawa bekal sendiri dari rumah sudah pasti lebih aman, sehat dan terjamin kebersihannya. Selain itu, cocok dengan motto emak-emak : semakin irit di dompet, semakin cerah wajah emak.

Jam sebelas siang, mobil pun meluncur di jalanan yang berdebu. Angin kencang di bulan Mei berlomba dengan teriknya matahari yang bersinar. Anakku, Gilbert, menyetir untuk perjalanan ke luar kota kali ini.

Perjalanan ke tempat wisata Fatumnasi butuh waktu tiga setengah jam. Tidak macet, namun arus lalu-lintas cukup padat. Liburan kali ini membuat barisan kendaraan yang mengarah ke tempat wisata di luar kota semakin panjang.

Perlu konsentrasi tinggi ketika mengemudi, mengantisipasi pengguna jalan lain terutama pengguna roda dua yang tidak peduli marka jalan dan tidak ambil pusing dengan keselamatan sendiri.

Peka terhadap hal yang kecil
Semakin dekat ke lokasi tujuan, perjalanan tidak lagi nyaman. Jalan beraspal yang harusnya mulus, tinggal separuh bagian yang tersisa. Untuk melewati jalanan ini, kendaraan harus mengantri terutama pada tanjakan yang rusak.

Saat itu, bunyi aneh yang berasal dari ban bagian belakang mulai terasa. Kata Gilbert, itu mungkin disebabkan karena batu yang terselip di antara cetakan motif ban mobil. Perjalanan pun dilanjutkan. Ada perasaan yang tidak nyaman saat bunyi yang sama masih terdengar.

Pada perhentian berikut, pengecekan ban dilakukan, tapi tidak ada yang aneh di sana. Atau mungkin karena dilakukan terburu-buru, mengingat hari sudah semakin sore, sehingga hal-hal kecil terabaikan untuk diamati.


Kami tiba di lokasi hutan pinus yang cantik dengan bukit berwarna hijau yang sangat indah jam tiga sore. Tapi karena spot foto dipenuhi oleh begitu banyak orang, perjalanan diteruskan ke Cagar Alam Mutis. Di sana terdapat hamparan padang luas yang ditumbuhi deretan pohon-pohon besar dan juga bonsai yang indah di atas tanah berwarna merah bata.

Kami memilih tempat yang aman dan bersih untuk makan siang. Puluhan mobil dan motor sudah ada di sana, di hamparan rumput indah nan luas. Mereka datang bersama keluarga, sahabat, teman atau pasangan masing-masing.

Ban mobil terlepas
Berada di ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut, menyebabkan Cagar Alam Mutis memiliki suhu yang dingin, sekitar 12-19 derajat Celcius. Udara yang sangat dingin, kering dan berangin saat itu, membuat kami tidak bisa berlama-lama di sana.

Hari sudah menjelang gelap. Setelah puas mengambil gambar, kami beranjak turun. Masih 15 km lagi dari Soe, ibukota kabupaten TTS, ketika peristiwa itu terjadi. Ban mobil belakang sebelah kiri terlepas. Bunyi yang sangat keras terdengar ketika sisi kiri mobil menyentuh jalanan aspal.

Beruntung, Gilbert tidak panik. Dengan sigap kemudi diarahkan ke pinggir jalan, sehingga kami tidak ditabrak dari arah belakang. Ban menggelinding jauh ke dasar, di kebun penduduk setempat yang curam di samping jalan.

Dibantu oleh penduduk setempat, anak bungsu Saya, Miguel mengambil ban dari semak-semak dan memungut kembali baut pengikat ban. Untungnya lagi, semua baut pengikatnya lengkap.

Selalu ada penolong
Kejadian ini jelas membuat Saya kaget. Sepasang suami istri yang berada persis di belakang mobil kami, mendatangi dan menenangkan kami. Sang suami memperhatikan kondisi mobil dan dia berkata semuanya akan baik-baik saja.

Berulang kali hal itu dikatakannya, mungkin agar Saya tidak cemas. Setelah menanyakan apakah anak saya, Gilbert bisa memasang kembali ban sendiri, akhirnya pasangan suami istri itu beranjak pergi.

Kelihatannya mereka sedang terburu-buru. Saya sendiri sampai tidak sempat menanyakan nama mereka. Saya hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada pasangan suami istri tersebut.

Hari semakin gelap. Gilbert dan adiknya berjuang untuk mendongkrak mobil agar ban bisa dipasang kembali. Namun tidak ada tanda-tanda kemajuan. Sementara begitu banyak mobil yang lewat, tidak ada satu pun yang berhenti untuk membantu.

Tidak ada yang bisa dilakukan di sini di saat hari semakin gelap. Rumah penduduk berjauhan, tidak ada penerangan jalan. Dalam hati, Saya terus memohon pertolongan Tuhan.

Akhirnya saya memberanikan diri untuk menahan laju sebuah mobil yang kebetulan jenisnya sama dengan mobil kami. Dan, mobil itu pun berhenti.

Dengan sigap, Pak Andre – demikian dia memperkenalkan dirinya- bersama dua orang anak lelakinya mencari cara agar kami bisa kembali ke rumah. Bersama mobil, tentunya. Dalam waktu satu jam kemudian, mobil pun sudah siap untuk dipakai kembali.

Pak Andre berpesan agar mengemudi dengan kecepatan rendah saja untuk menghindari kondisi yang sama terjadi lagi.

Sepanjang perjalananan menuju ibukota kabupaten, mobil Pak Andre selalu beriringan dengan mobil kami, hanya untuk memastikan agar kami tiba dengan selamat sampai di Soe. Ada keinginan untuk menginap di Soe malam itu, namun anak-anak menolak dengan alasan lebih baik kembali dan beristirahat di rumah saja.

Banyak pelajaran yang didapat
Perjalanan kembali ke rumah yang jaraknya ratusan kilometer, dilakukan secara perlahan. Beberapa kali, pada tempat-tempat yang memiliki lampu penerangan, kami berhenti untuk mengecek kondisi kendaraan. Melelahkan memang, tapi kami juga menikmati perjalanan malam hari yang tidak terlalu ramai.

Ada pelajaran yang didapat dari peristiwa yang terjadi pada hari itu.
• Menyerahkan apapun yang akan dilakukan hari itu pada Tuhan, membuat hidup jadi lebih terasa aman dan damai. Dia pasti selalu hadir untuk menolong dengan caraNya sendiri.
• Berterimakasihlah untuk semua yang dilakukan oleh orang lain terhadap diri kita, sekecil apa pun itu.
• Bantulah orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan kita, kita tidak pernah tahu kapan kita membutuhkan pertolongan orang lain.
• Belajar untuk peka terhadap hal-hal yang kecil yang ada di sekitar kita. Bisa jadi itu adalah pertanda penting bagi kita.
• Bersiap akan hal terburuk meski persiapan terbaik telah dilakukan. Kehidupan tidak bisa diprediksi dengan mudah.

Tuhan selalu memiliki cara agar kita dapat bersyukur dalam segala situasi yang dihadapi dalam hidup (RT)

Ragu Theodolfi untuk Inspirasianakita.com

Facebook Comments