Siapa tidak kenal dengan Bandung? Kota Priangan, kota Paris van Java. Segudang wisata alamnya. Di Bandung Selatan ada banyak wisata alam seperti Ciwidey,Perkebunan The Rancabali, Kawah Putih, dan Situ Patenggang.
Di Bandung Utara, terkenal wisata alam Dago Tea House, Dago Pakar Curug Dago, Curug Maribaya maupun Puncak Bintang.
Namun, kali ini saya sebagai wisatawan lokal yang punya waktu dua hari ke Bandung, tak bisa melakukan wisata alam. Dalam dua hari itu saya memutuskan untuk wisata budaya dan histori di Bandung.
Dari Jakarta menuju ke Bandung dengan naik kereta api Argo Parahyangan. Perjalanan hanya sekitar 3 jam 23 menit.
Tiba di Bandung, saat itu bulan November 2019, disambut dengan hujan yang sangat lebat sekali. Kami naik mobil mencari makanan siang dulu. Menunggu hujan reda, kami ke hotel.
Hanya beristirahat satu jam, kami segera menuju ke Saung Angkung Ujo di Jl.Padasuka No.118 Bandung.
Hujan yang terus mengguyur Bandung belum juga berhenti. Untung kami sudah membeli tiket online dari Jakarta.
Begitu kami sampai di Saung itu, luas area parkir yang sangat luas sekali. Ribuan kendaraan mobil yang parkir.
Terdapat outlet untuk jualan souvenir pernak-pernik seperti minatur angklung, mainan anak-anak, kaos atau dompet. Juga ada museum kecil untuk melihat pembuatan angklung dan lukisan-lukisan yang sangat menarik.
Pembelian tiket yang sudah dibeli secara online, tinggal dipindai saja ketika masuk. Tetapi bagi yang belum beli secara online, bisa beli lewat konter kecil yang dua peralatan komputer yang canggih.
Saya datang ke Saung sebelum terjadi Covid, sehingga pertunjukkan sehari bisa 5 kali. Ribuan pengunjung, kebanyakan dari mancanegara dan wisatawan lokal dari luar kota yang datangnya secara rombongan.
Begitu masuk ke dalam, terlihatlah panggung terbuka. Tempat duduknya dari batu melingkar seperti stadion sepakbola.
Saya tidak bisa mendapat tempat yang nyaman di depan menghadap pertunjukkan. Semua tempat sudah dipesan dan hanya bisa dapat tempat duduk di sayap kanan dan terhalang penonton di depan saya yang jauh lebih tinggi.
Namun, sesi demi sesi pertunjukkan sangat saya nikmati. Mulai dari lagu-lagu daerah dari Sabang sampai Merauke, dinyanyikan, ditarikan oleh anak-anak baik yang kecil sampai besar.
Luar biasa mereka memadu padankan musik angklung dengan harmonisasi angklung dengan peralatan musik tradisional maupun modern. Cara memainkan angklung sederhana tetapi harus memahami teknik dasarnya, apakah kerulung (getar), centok(sentak), atau tengkep.
Harmonisasi yang dihasilkan dari nada dan irama yang diminta konduktor menghasilkan lagu-lagu lokal/daerah maupun internasional yang sangat indah.
Sungguh saya takjub dengan demonstrasi wayang golek, upacara Helaran dan orkestra massal dan Arumba. Di akhir pertunjukkan para penonton diajak untuk memainkan angklung dengan diajarkan secara kilat. Ada juga yang menari di panggung bersama anak-anak.
Suasana jadi meriah dan semarak. Kegembiraan dan kebersamaan menari tarian lokal diantar lagu-lagu daerah menjadi sangat hangat sekali.
Sedihnya saya mendengar saat Covid 19, Saung Angklung Ujo itu ditutup total. Semua pelaku seninya hampir tidak beraktivitas. Sekarang pun saung ini hanya “live” satu kali pertunjukkan. Sepinya luar biasa.
Saya prihatin dengan keberlangsungan dari seni budaya Angklung yang sudah diakui oleh Unesco ini.
Besok paginya, saya berjalan-jalan sepanjang Jl. Braga. Saya memang sedang belajar fotografi. Tapi saya kagum dengan gedung sejarah yang arsitekturnya masih kuat dan kolonial Belanda. Gedung-gedung itu diantaranya Merdeka, Savoy Homan, OCBC NISP dan de Majestic.
Pembangunan gedung di zaman kolonial ada yang dulunya sebagai bioskop (de Majestic) dan hotel (Savoy Homan).
Setelah puas menjepret bangunan kuno yang ada di sepanjang Jalan Braga dan mengetahui sedikit sejarah, perjalanan dilanjutkan ke Chinatown Bandung.
Letaknya di Jalan Kelenteng 41, Ciroyom. Jalan yang terletak antara Jalan Sudirman dan Jl. Cibadak. Terkenal dengan daerah yang disebut dengan daerah Pecinan.
Tiket masuknya sangat murah Rp.30.000 per orang. Daya tarik dari Chinatown:
1. Wisata kuliner
Warna dinding yang kuat merah dan orange dan dihiasi dengan lukisan mural, dan hiasan lampu lampion, menyediakan 43 jenis menu makanan khas Tiongkok dan tradisional Indonesia. Memanjakan lidah kalian dengan harga yang terjangkau sekitar Rp.50.000,-
2. Museum Mini
Museum ini merupakan saksi sejarah masuknya orang Tionghoa ke Indonesia, foto-foto lengkap dengan bangunan pecinan dan tulisan yang sangat lengkap.
3. Dekorasi Unik ala Tiongkok
Membayangkan rumah Tiongkok asli tak sulit karena di Chinatown Bandung bangunan serupa aslinya ditempatkan. Sangat oriental dan dipadukan dengan mural yang menggambarkan kehidupan etnis Tionghoa Bandung masa lalu.
4. Spot foto antimainstream
Bagi yang suka berfoto dan bergaya, disiapkan tempat-tempat untuk berswafoto antimainstream. Tentu saja background rumah tradisonal China yang sangat unik.
Nah, itulah perjalanan wisata budaya dan sejarah yang singkat waktunya, tetapi mendapatkan banyak pengalaman yang sangat unik.
Tangerang Selatan, 2 Mei 2022
Ina Tanaya, narablog www.inatanaya.com
Facebook Comments