Jam kuno di ruang tamu berdentang lima kali. Tak lama, ayam jago di kandang belakang rumah berkokok panjang. Seperti biasa, meskipun mata masih terasa berat, tetap saja aku bangun, berdoa, lantas pergi ke dapur. Kurebus telur ayam kampung kesukaan suamiku. Tak lupa, kusiapkan kopi, roti, dan madu untuk menemani sarapan kami sekeluarga.
Setelah pekerjaan di dapur usai, aku siapkan pakaian untuk suamiku tercinta. Kusetrika celana panjang hitam dan kemeja biru tuanya. Itulah warna setelan kegemarannya. Meskipun teman-teman kantor sering meledeknya karena jarang berganti setelan, toh suamiku tak marah. Ia malah membalas ledekan itu dengan santainya,“Warna ini anjuran dari Mbah Dukun, biar aku cepat naik pangkat!” Begitulah sifat suamiku: periang dan sederhana.
***
Aku ingat waktu dulu kami pacaran semasa kuliah di Jogja. Dia ketua kelompok mahasiswa di fakultas ekonomi. Aku adik kelasnya. Kami bertemu pertama kali saat dia datang ke kelasku untuk mengantar undangan rapat persiapan Natal. Kemeja biru tuanya tampak kusut. Sepatunya pun butut. Tapi dia tampak percaya diri saat masuk ke kelas kami yang didominasi kaum hawa.
“Saya Andreas. Siapa di kelas ini yang namanya Lusia dari Lampung?” katanya saat itu. “Ada apa, Mas?,” jawabku sembari mendekatinya. Saat aku selesai berbicara dengannya, seorang teman bertanya,”Ehm, siapa tadi, Lus? Keren banget lho dandanannya!”Aku tersenyum kecut.
Sejak perkenalan itu aku makin akrab dengannya. Orang Jawa punya peribahasa,”Witing tresno jalaran seko kulino.” Artinya, orang jatuh cinta karena sering berjumpa.
Rupanya pepatah itu juga berlaku untuk kami berdua. Tahun kedua, aku terpilih jadi bendahara kelompok mahasiswa. Jadinya aku dan Mas Andre makin sering bertemu. Rupanya kami sama-sama punya keprihatinan pada kaum papa. Bersama teman-teman, kami ngamen dan mengumpulkan barang bekas. Hasilnya kami pakai untuk membelikan alat tulis bagi anak-anak pemulung di bantaran Kali Code.
“Lus, apa sih arti bahagia menurutmu?” tanyanya suatu ketika. “Aku bahagia kalau bisa lulus, kerja, dan membuat orangtuaku bangga,”jawabku lugu. “Tapi itu belum cukup, Lus. Kita baru benar-benar bahagia kalau kita bisa membantu sesama,” tukasnya.
Perangainya yang luhur membuatku terpikat. Kami akhirnya menikah setelah empat tahun pacaran. Kami memutuskan untuk membangun bahtera rumah tangga di Jogja. Tanggal 20 Januari tahun ini akan menjadi peringatan ke-30 perkawinan kami.
Tuhan Yesus menganugerahkan dua anak pada kami. Lukas, si sulung, sudah menikah dan kini tinggal di Pekanbaru. Maria, si bungsu, mengajar di sebuah SMA tak jauh dari rumah kami. Aku bahagia karena anak-anak mewarisi jiwa sosialku dan suamiku. Sejak beberapa tahun lalu, mereka berdua tiap bulan menyisihkan sebagian gaji untuk membantu sebuah panti asuhan korban gempa Jogja.
***
Suara pintu yang berderit membuyarkan lamunanku. Rupanya Maria yang membuka pintu. “Mama, selamat pagi. Kenapa Mama selalu nyetrika baju Papa? Sudahlah, Ma. Simpan saja baju itu di lemari,”pintanya. Tapi, aku tetap menyetrika kemeja biru tua kesukaan suamiku.
Maria mendekat padaku. “Mama … sudahlah. Maria nggak suka Mama begini terus tiap pagi,” tuturnya sembari memegang pundakku dari belakang. Akhirnya aku berhenti menyetrika.
Kuarahkan pandanganku pada foto suamiku tercinta. “Mama, iklaskan Papa pergi dengan damai. Mama tidak sendirian. Maria berjanji akan selalu menemani Mama,” bisiknya di telingaku.
Aku menghela nafas panjang. Enam bulan lalu, saat suamiku sedang mengantar uang sumbangan ke panti asuhan, kecelakaan itu terjadi. Ya, jujur kuakui, tak mudah melupakan suamiku tercinta.
Seakan mengerti isi hatiku, Maria memelukku erat. Pelukan hangatnya mengingatkanku pada pelukan suamiku tercinta yang telah tiada.
Kotaabadi. Bobby Steven
Facebook Comments