Penulis: Yunita Kristanti
Sempat merenungkan peristiwa kematian Affan Kurniawan beberapa minggu lalu. Begitu memilukan. Bukan melihat hanya dari di satu sisi. Tetapi keseluruhan sisi, di sisi kerakyatan atau ‘wong cilik’. Gelombang protes yang belum berujung ini tentu merupakan akumulasi dan ekskalasi yang tertahankan dari pihak-pihak yang dinamakan ‘wong cilik’ itu tadi.
Affan Kurniawan dan tujuh anggota brimob pengendara kendaraan taktis yang kemudian dijatuhi hukuman ini adalah sebuah potret ‘wong cilik’ yang selalu menjadi korban. Korban dari kebuasan penguasa yang mengorbankan orang-orang kecil dan bawahan yang tidak pernah tersentuh oleh hukum.

Kesamaan Affan dan tujuh anggota brimob ini adalah mereka sama-sama orang yang bekerja untuk kehidupan dan keluarga mereka. Sama-sama orang kecil yang ‘dikendalikan’ oleh pihak yang lebih besar di atasnya. Affan sedang bekerja sebagai pengendara ojol untuk melayani customer.
Kemudian anggota brimob pun sedang melaksanakan tugas negara di dalam situasi demo untuk alasan ‘pengamanan’. Keduanya sedang melakukan pekerjaan dari pihak pemberi kerja yang karena sebuah situasi ‘khusus’ harus mendapatkan sebuah cerita dan kisah lain yang sangat tragis di akhir Agustus itu.
Cerita-cerita seperti Affan dan anggota brimob yang kemudian dihukum karena pelanggaran mereka ini bukan satu-satunya kisah. Mereka acapkali hanyalah korban dari sebuah sistem yang bisa dibilang kacau-balau. Lagi-lagi sistem hukum kita tidak bisa melindungi ‘wong cilik’.
Di sisi lain, banyak pihak di atas ‘wong cilik’ ini memiliki kesalahan yang lebih besar namun tidak bisa tersentuh atau disentuh. Sangat miris. Begitu banyak contohnya. Lagi-lagi, keberpihakan pada ‘wong cilik’ menjadi sebuah utopis.
Belum lama kita merayakan hari kemerdekaan kita, tetapi peristiwa di akhir Agustus kemarin mengubah makna kemerdekaan itu sendiri. Kembali merenung, apakah kemerdekaan hanyalah sebuah momen selebrasi belaka? Apakah de facto kita memang benar-benar sudah merdeka?
Harga manusia menjadi sangat rendah. Lalu apakah ini adalah mewakili makna merdeka sebuah bangsa?
Saya tidak sedang menghakimi siapapun. Hanya saja, saya ajak semua untuk berfleksi. Bisa saja, jjangan-jangan saya dan kita inilah justru yang sudah kehilangan penghargaan terhadap rasa kemanusiaan?
Apakah saya dan kita ini justru maling teriak maling? Apakah saya dan kita ini justru pelaku ketidakadilan di lingkup kita hidup? Apakah saya dan kita justru menyuburkan kebiasaan korupsi di lingkungan kita? Kita akan menyimpan jawaban-jawaban kita sambil menyimak beberapa poin di bawah ini.
Merefleksi tentang budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme ini terkait dengan sebuah sistem yang telah membudaya. Bahkan bisa jadi ini ada di keluarga kita?
Jangan-jangan saya dan kita ikut andil merawat bibit-bibit KKN dalam keluarga.
Pemberian reward, hadiah, dan tanda terima kasih apakah bisa kemudian menjadi akar korupsi?
Pemberian reward, hadiah, tanda terima kasih sebenarnya tidak salah. Yang kemudian menjadi absurd ketika hadiah ini ‘diminta’ dan menjadi syarat akan sebuah perilaku atau tindakan dan aktivitas yang kemudian menjadi sebuah ‘habit’.
Menjadi lumrah ketika seorang pegawai, karyawan, atau pejabat publik memberikan layanan terbaik untuk yang dilayani. Apabila kemudian diberi hadiah ataupun apresiasi atas layanan yang telah dilakukannya itu hanya menjadi sebuah bonus.
Hadiah tadi bukan syarat atau sebuah keharusan. Hadiah tadi selayaknya dimaknai sebagai ucapan terima kasih tanpa muatan apapun. Menjadi salah ketika kita sebagai karyawan justru meminta pada klien, pelanggan, atau warga masyarakat yang membutuhkan layanan kita. Apalagi jika bisa memberlakukan ‘pungli’ untuk sebuah ‘proyek’ dan memersulit layanan!
Menarik mundur, apakah praktik-praktik pemberian reward dan punishment ini justru kita ciptakan di keluarga? Mungkin saja apakah pendidikan yang kita lakukan pada anak-anak kita juga dimulai dari pemberian hadiah karena sebuah syarat untuk bla bla bla?
Jika anak kita tidak manut, biasanya kita akan melakukan nego untuk mengubah perilakunya agar manut dengan hadiah. Anak berubah nurut karena hadiah. Anak mendapatkan nilai jelek, kemudian kita ingin agar nilainya baik, kemudian kita mengiming-imingi hadiah untuk anak kita dengan harapan nilainya naik karena iming-iming hadiah yang didapatkan.
Apakah salah memberi reward atau hadiah tersebut? Toh, itu sebuah upaya memberikan apresiasi untuk mereka. Jika kita renungkan kembali, tentu memberi reward atau hadiah tesebut tidaklah salah, hanya, jika dipikir mendalam, perilaku yang akan muncul apakah benar-benar memang lahir dari kesadaran anak untuk mengubah karena memang harus berubah untuk hidupnya? Atau hanya karena hadiah dan rewardnya saja? Kemudian perilaku tersebut akan lenyap secepat kilat setelah hadiahnya dinikmati?
Apakah kita tidak boleh memberikan hadiah untuk anak-anak karena kita ingin mengapresiasi. Rasanya bukan begitu. Hadiah bisa diberikan pada mereka tanpa mengurangi makna perilaku yang sedang dilatih. Jangan berikan janji hadiah untuk mereka, sehingga mereka tetap berproses pada perilaku yang sedang dilatih. Biarkan perilaku yang sedang dilatih ini menjadi motivasi internal dalam diri mereka untuk berubah, bukan karena hadiahnya.
Sama seperti hadiah, kita juga seringkali gunakan hukuman untuk menggunting dan meniadakan perilaku yang tidak baik. Perilaku tersebut memang cepat hilang, tetapi apakah bukan karena mereka hanya sekadar takut? Atau memang karena sadar bahwa perilaku tersebut memang harus diubah?
Relasi dalam keluarga dibangun atas dasar kesetaraan. Komunikasi dibangun untuk sama-sama bertumbuh tanpa meniadakan sopan-santun. Relasi yang setara memungkinkan orang untuk memiliki hak yang sama untuk bertumbuh, untuk memiliki akses yang sama dalam berkehidupan.
Jika ada kritik disampaikan dengan baik untuk bisa sama-sama diterima kemudian menjadi bahan acuan untuk evaluasi dan koreksi bersama. Menyampaikan bukan dengan kekerasan, demikian pula ketika telah disampaikan bukan hanya ditanggapi sambil lalu atau diberi janji-janji surga saja, bahkan jangan sampai dibungkam atau diberlakukan tindakan kekerasan untuk melawan.
Hal-hal semacam ini bisa menjadi sebuah tolok ukur kita dalam hidup bermasyarakat. Ketika kita bisa melakukan dalam institusi masyarakat yang paling kecil, yaitu keluarga. Niscaya, hal-hal ini menjadi lebih mudah untuk dilakukan juga di dalam masyarakat dan bernegara.
Turut berduka mendalam untuk keluarga Affan Kurniawan.
Ditulis untuk Inspirasiana.

 
  
  
 
Facebook Comments