Suatu hari Minggu yang cerah ceria, saya sedang menikmati panorama pagi di samping sebuah gereja. Saat sedang berlangsung ibadat di dalam gereja, seorang ibu paruh baya menunggu di gerbang gereja.
Dari pakaiannya yang tampak lusuh, ibu itu adalah pengemis dari luar kota yang datang memang hanya untuk meminta-minta. Seperti para peminta-minta lainnya, ia mencari lokasi strategis. Salah satunya ya di depan gerbang gereja, tempat banyak orang setelah ibadah akan melintas sebelum pulang ke rumah.
Mungkin si pengemis itu berharap, khotbah akan menyinggung soal pentingnya memberi bantuan pada yang memerlukan. Atau, membahas pahala surgawi bagi yang suka menolong sesama manusia.
Saya agak terkejut ketika si pengemis mengeluarkan telepon genggam dari sakunya. Ia sebelumnya tengok kanan-kiri dulu. Memastikan tidak ada orang yang melihatnya mengambil telepon seluler dari saku celananya.
Si pengemis tidak tahu bahwa saya dari jauh melihatnya. Apalagi pandangannya memang sedikit terhalang ranting pepohonan. Dia pun menghadap ke arah lain, bukan ke arah tempat saya sedang berdiri.
Si pengemis adalah tipikal pengemis modern, demikian saya menyebut golongan pengemis yang jauh dari kesan sebagai orang yang sungguh miskin dan sungguh memerlukan bantuan.
Di banyak tempat, pengemis modern ini bahkan menguasai lokasi strategis dan menyingkirkan para pengemis sungguhan.
Coba saja cari berita surat kabar daring dengan kata kunci: pengemis kaya, pengemis palsu, pengemis bermobil, dan sejenisnya.
Bahkan ada pengemis yang ketika diciduk Satpol PP, ia mengaku mendapat penghasilan sekitar 800.000 rupiah per hari.
Wah, dengan penghasilan sebesar itu, ia mengalahkan banyak sekali pekerja yang banting tulang tiap hari dan hanya mendapat gaji sesuai Upah Minimun Regional.
Ada pula pengemis yang pergi-pulang dijemput mobil bagus. Iya, mobil itu milik keluarganya atau miliknya sebagai hasil mengemis.
Apalagi, menurut sebuah jajak pendapat, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat gemar menolong dengan donasi.
Tentu saja, sikap murah hati masyarakat Indonesia ini patut kita hargai dan kita banggakan. Masalahnya, sering kali sikap dermawan ini dimanfaatkan oleh para oknum. Termasuk oleh para pengemis modern.
Mengemis dahulu adalah jalan terakhir kala usaha sudah mentok. Mengemis adalah sesuatu yang terpaksa dilakukan dan terasa sangat memalukan. Itu dulu.
Sekarang ini, cukup banyak pengemis profesional dengan jaringan dan strategi yang brilian, terutama di kota-kota besar.
Para pengemis musiman juga sangat cermat memilih saat dan tempat untuk mengeruk sebanyak mungkin penghasilan dari sumbangan.
Bahkan disinyalir, sejumlah desa dikenal sebagai desa pengemis (musiman) di Indonesia. Bukan karena tanahnya tidak subur, tetapi kadang karena mengemis lebih menghasilkan uang daripada bekerja di sawah.
Kembali ke topik kita.
Apakah pengemis yang memiliki ponsel harus kita bantu juga?
Dalam pengalaman dan pengamatan saya, agak sukar juga membuat penilaian dari pengamatan sepintas.
Saat ini, ponsel bukan barang mewah lagi seperti beberapa tahun atau dasawarsa silam. Ponsel berharga seratusan ribu rupiah pun ada.
Ponsel juga sudah menjadi sarana yang lazim untuk berkomunikasi dengan kerabat, baik bagi keluarga kaya maupun keluarga tak berpunya.
Ponsel menjadi sarana pelepas rindu dengan kerabat nun jauh di kampung sana.
Jadi, menilai seseorang sebagai miskin atau kaya hanya berdasarkan punya ponsel atau tidak bisa tidak selalu tepat.
Mungkin yang jelas adalah merek ponsel yang dimiliki. Jika ponselnya merek premium, sangat mungkin pemiliknya kaya atau beruntung diberi hadiah ponsel mahal.
Dilema membantu dan tidak membantu ketika ditipu
Memberi atau tidak memberi ternyata bisa menjadi dilema moral bagi banyak orang. Apakah wajib memberi saat kita tahu bahwa orang yang akan kita tolong sejatinya tidak sangat memerlukan?
Apakah perlu memberi ketika orang yang hendak kita bantu justru menipu kita?
Saya mempunyai seorang sahabat budiman yang suka membantu orang lain. Kebaikannya ini sering dimanfaatkan sejumlah oknum yang curang.
Setiap kali habis gajian, ada saja oknum curang yang datang meminta bantuan pada si sahabat budiman ini. Anehnya, dia juga tetap mau memberi sedikit bantuan meski tahu dirinya dimanfaatkan.
Ketika saya tanya, mengapa dia melakukan itu, sahabat budiman ini mengatakan pada saya:
“Bagi saya lebih baik ditipu tetapi memberi dengan ikhlas daripada tidak memberi karena ragu menilai seberapa perlu orang yang minta bantuan.”
Pilihan sikap sahabat saya nan dermawan ini memang sulit dipahami dengan logika matematika dan logika ekonomi.
Akan tetapi, ada benarnya juga. Siapa tahu orang yang menipu itu menipu karena terdesak keadaan. Siapa tahu orang yang menipu itu memang memerlukan bantuan.
Hidup memang tidak selalu hitam-putih. Si ibu pengemis yang kedapatan oleh saya sedang menggunakan ponsel itu juga bisa jadi abu-abu.
Ia bisa jadi tidak sangat miskin, tetapi tetap memerlukan bantuan. Mungkin untuk kerabatnya nun di kampung asalnya sana.
Atau, kemungkinan terburuknya, ia sebenarnya tidak miskin dan tidak perlu bantuan saya, yang justru akan semakin membuatnya kaya.
Artinya, bisa jadi si pengemis itu sedang menipu saya mentah-mentah.
Saya kembalikan soal ini ke nurani para sahabat pembaca. Menurut hemat saya, jika nurani Anda memiliki kepastian moral atau kemantapan hati untuk membantu (meskipun tahu atau curiga ditipu), sah-sah saja Anda membantu. Toh, itu uang Anda sendiri yang bebas Anda gunakan.
Jika Anda tidak jadi membantu dengan pertimbangan moral bahwa uang bantuan itu bisa disalurkan ke yang jelas lebih memerlukan, Anda juga berbuat baik.
Dalam kejadian yang saya alami, saya tidak membantu si ibu pengemis itu. Soalnya, uang di kantong saya tak seberapa. Tambah lagi, sepertinya justru ponsel saya yang minta diisi pulsa. Halo, ada yang mau nyumbang saya pulsa? He…he…he.
Salam. RB untuk Inspirasianakita.com
Facebook Comments