Apa Semua Kebenaran Harus Dikatakan?

Apakah semua kebenaran harus dikatakan?

Bukankah mengatakan hal yang benar itu adalah kebaikan?

Benarkah?

Ada seseorang mengatakan seorang artis bermuka boros atau lebih tua dari umurnya di media sosial.

Tentu saja perkataan ini menimbulkan kontroversial. Apalagi bagi fan artis tersebut. Ramailah jagat maya.

Menerima banyak yang protes atas perkataannya orang ini yang juga seorang kreator konten teguh pada pendiriannya. Bahwa apa yang dikatakan itu hal yang benar. Kenyataan. Apalagi ada yang ikut mendukung perkataannya.

Ia bahkan tidak takut kalau urusan sampai dilaporkan ke polisi sebagai penghinaan. Karena menurutnya ada yang lebih parah dan memang layak dilaporkan ke polisi. Sementara yang dikatakan olehnya takada yang salah.

Menurut pandangan saya pribadi juga sebenarnya apa yang dikatakan itu–maafkan–ada benarnya. Bahwa muka artis ini lebih tua dari umurnya. Yang dikatakan sebagai muka boros. Karena selama ini saya juga memerhatikan. Namun, pandangan ini hanya saya disimpan rapat-rapat di hati.

Jadi, apa yang salah mengatakan hal yang benar?

Setiap orang bebas menilai orang lain. Yang menilai pun tidak keberatan dinilai tentang dirinya. Semua atas nama kebebasan. Adil, kan?

Jadi, kenapa mesti ada ribut-ribut?

Sekali lagi, salahnya di mana sehingga banyak yang protes?

Yang pastinya salahnya kalau membalas dengan hujatan dan caci maki. Menanggapi sehingga kehilangan akal sehat. Ini yang salah.

Kembali ke soal perkataan “muka boros” yang dianggap benar karena kenyataan memang demikian.

Kenapa dianggap salah?

Saya sependapat dengan kata orang bijak, “Bahwa tidak semua kebenaran harus dikatakan.”

Apabila sebuah kebenaran dikatakan lalu berakibat ketakbenaran. Apa manfaatnya?

Dalam hal ini kalau seseorang bermuka boros menurut kita. Apakah harus mengatakan sampai orang sedunia tahu? Apalagi selanjutnya menjadi bahan olok-olok.

Apa salahnya bila seseorang bermuka boros? Kalau memang dianggap demikian. Itu muka dia sendiri. Kenapa repot mesti mengurus muka orang lain?

Bukankah lebih baik simpan saja di hati? Masih banyak hal baik di balik muka boros yang dapat dibahas.

Misalnya orang ini suka menolong atau melakukan kegiatan sosial membantu sesama.

Bukankah hal ini malah bisa menginspirasi daripada membicarakan masalah muka boros yang justru menimbulkan ketakbaikan.

Seperti yang sering terjadi antar pendukung saling mencela di jagat media sosial. Buang-buang energi.

Jadi, dalam hal ini bukan masalah benar atau tidak mengatakan suatu hal. Namun, yang terpenting adalah layak atau tidak kita mengemukan hal ini ke publik atau di media sosial.

Dalam kehidupan kita sering kali membaca atau mendengar seseorang mengatakan apa yang diyakini sebagai kebenaran. Bahkan dalam hal urusan agama. Ada orang yang tidak segan menggemukan isi kepalanya tanpa berpikir lagi apa akibatnya.

Tanpa berpikiran bahwa hal ini bisa menyinggung atau melukai pihak lain. Apalagi urusan agama yang bisa menimbulkan pertikaian. Karena berkeyakinan yang dikatakan adalah benar.

Yang jadi pertanyaan. Apakah mengatakan hal ini semata-mata karena kebenaran atau pemuasan ego semata?

Sejatinya bila memang atas nama kebenaran sebelum mengatakan kita semestinya menimbang secara bijak dahulu. Apakah lebih banyak manfaatnya atau efek buruknya lebih banyak?

Bukan berlindung di balik kebebasan dan berkeyakinan bahwa apa yang dikatakan adalah hal yang benar.

Apabila timbul kontroversial bukan urusan saya. Bukankah egois namanya?

Di sinilah pentingnya kita mengasah pedang kearifan. Jangan sampai demi pemuasan keegoan mengatasnamakan kebenaran yang justru melahirkan ketakbenaran.

Apa gunanya?
Oleh Katedrarajawen
@cermindiri, 27 Mei 2022

Facebook Comments