Daya Lenting Senior, Kisah Inspiratif Ibu Berusia 91 Tahun

Apakah hidup di dunia ini selalu mulus dan menyenangkan? Tidak selalu. Kita ingat peribahasa tentang kehidupan yang bagaikan roda sepeda. Sebentar berada di atas dan sebentar berada di bawah.

Jika berada di atas pasti dalam keadaan yang menyenangkan, semuanya baik-baik saja. Misalnya pekerjaan aman dan nyaman, karier terus menanjak, keluarga harmonis, dan kesehatan terjaga.

Dalam kondisi baik, umumnya, banyak teman-teman yang datang menghampiri. Ingat peribahasa “Ada gula ada semut”. Semut selalu datang kepada gula, demikian juga manusia mendatangi dan mendekati orang yang sedang menanjak kariernya, kaya, dan punya kekuasaan.

Namun, sebaliknya, ketika keadaan berubah total, kondisi ekonomi carut marut karena suami kena PHK, tidak bisa bayar uang sekolah anak karena tidak ada pendapatan tetap, kesehatan suami, anak memburuk, dan anggota keluarga bergantian ke luar masuk rumah sakit.

Tetangga mulai sering berbisik-bisik: “penggangguran berdasi”, tak punya pendapatan.
Dalam kondisi terpuruk , dirundung (di-bully), diberi stigma, dan dimaki, daya lenting kita jadi lemah sekali. Kita merasa sebagai manusia yang tak berguna dan tak bermanfaat lagi. Ada kegetiran dalam kehidupan yang tak bisa kita terima.

Apakah tanpa daya lenting kita dapat bangkit menjadi manusia yang kuat? Itulah yang membedakan antara satu manusia dengan manusia yang lainnya.

Seseorang yang tidak kuat atau tak punya daya lenting, begitu kondisi memburuk, dia langsung ikut terpuruk jiwa dan semangat hidupnya. Pada akhirnya, hidupnya makin terpuruk dan tak bisa memenangkan kehidupan.

Sebaliknya mereka yang punya daya lenting kuat, ketika badai datang, dia tidak langsung terpuruk.

Dia memang sempat sedih, kecewa, dan menangis karena kehidupan yang menimpanya. Namun, tak lama kemudian, dia mampu berhasil keluar dari keterpurukan.
Dia merasakan ada tangan yang kuat yang menopang dirinya yaitu kekuatan spiritual yang mampu meraih hidupnya sehingga ia kembali kuat.

Sedikit demi sedikit kekuatan itu membuat dirinya bisa melihat titik terang dan akhirnya dia kuat untuk menapak hidup dengan gairah dan menatap masa depan.

Demikian juga kondisi beberapa teman saya yang senior. Fisik mulai berubah, satu persatu keluhan fisik yang sakit timbul. Ada yang sakit lututnya, ada yang sakit punggung, ada yang matanya mulai buram. Kemunduran fisik itu sudah mulai menggerogoti satu persatu anggota tubuh.

Cerita yang sangat menyentuh hati saya. Seorang teman, memiliki mertua perempuan, Ibu Dina (bukan nama sebenarnya) yang berusia 91 tahun.

Semangat hidupnya dan daya ingatnya sangat kuat. Meskipun fisik tubuhnya agak lemah, jalannya sangat perlahan-lahan, tapi dia masih suka berkebun dan bermain musik, dan piano.

Satu hari ketika Ibu Dina sedang berkebun, berjongkok, tiba-tiba tubuhnya goyang ke depan. Dia terjatuh dengan suara dentuman cukup keras. Ibu Dina pun dibawa ke rumah sakit.

Dokter ahli bedah tulang mengatakan bahwa ada dua ruas tulang di kaki kiri dan kanan patah, tangan kiri sedikit memar karena menahan tubuhnya.

“Apakah ibu saya bisa dioperasi?” tanya teman saya.
Dokter menjawab: “Saya tidak berani mengoperasi ibu Dina, risiko terlalu besar karena usianya sudah mencapai 91”.

“Lalu, pengobatan apa yang bisa dilakukan?” tanya teman selanjutnya.
“Saya pikir hanya dengan terapi yang telaten. Itu pun tak menjamin tulangnya bisa kuat untuk berjalan seperti semula!”

Dalam kondisi kesakitan karena nyeri dari tulang yang patah, Ibu Dina mendengar percakapan antara dokter bedah tulang dengan anak menantunya.


Dalam hatinya yang terdalam, dia mengeluh keras: “Tuhan, mengapa engkau tak biarkan aku pulang ke Rumah-Mu saja. Aku tak sanggup menderita. Aku hanya bisa makan, tidur, aku manusia tak berguna. Aku tak mau merepotkan anak dan menantuku. Aku tak mau bergantung kepada orang lain”.

Segala penyesalan dan kekesalan hatinya dikeluarkan dalam doa. Akan tetapi, ketika anak dan anak menantu memberikan penguatan kepada ibunya.

Meskipun dalam kondisi terbaring tak bisa berdiri maupun duduk lagi, Ibu Dina diberikan tugas baru oleh Tuhan untuk mendoakan orang-orang yang membutuhkan. Ibu Dina diberikan daftar doa yang tiap hari diperbaharui oleh anak menantunya.

Mendengar ada tugas baru, Ibu Dina merasa gembira dan kuat lagi. “Aku masih bermanfaat bagi orang lain! Aku mau sembuh dan apa pun penderitaanku, aku jalani dengan kekuatan dari Tuhan yang selalu tidak meninggalkanku”.

Tiap minggu Ibu Dina melakukan psikoterapi mulai dari tangan dan kaki, sampai dia bisa duduk. Dari duduk, Bu Dina mulai berjalan dengan tongkat yang membantunya.

Sedikit demi sedikit, dengan kemauan keras dan daya lenting yang kuat sekali,Ibu Dina akhirnya bisa berjalan dengan didampingi orang lain.

Kemajuan ini bukan mudah, sulit bagi Ibu Dina. Tapi dia tetap melakukannya dengan menerima sakitnya sebagai bagian hidup yang harus ditempuhnya untuk tetap percaya kepada penyertaan Tuhan.

Akhirnya, setiap orang dapat melihat daya lenting dari Ibu Dina, merasakan kekuatan dibalik penderitaan.

Para ibu-ibu senior yang tidak setua ibu Dina mulai sadar bahwa daya lenting itu sangat penting menghadapi sesuatu kondisi buruk yang menimpa diri kita.

Dengan daya lenting yang kuat, kita semua dapat melihat pengharapan untuk kembali kuat berjalan bersama dengan Pencipta-Nya.

Tangerang 11 Juni 2022

Ina Tanaya

Facebook Comments