Ayah adalah cinta pertama setiap anak perempuan. Sayangnya, ayah justru menjadi patah hati pertama saya.
Jangan salah paham dulu. Saya tidak membenci ayah. Beliau orang baik. Beliau juga tidak pernah melakukan kekerasan, baik pada istri maupun anak-anaknya.
Saya tahu, kebutuhan dan kondisi ekonomi pada akhirnya membuat ayah harus bekerja di kota lain. Dengan kondisi beliau yang jarang di rumah, wajar bukan kalau anaknya yang saat itu masih kecil berharap di hari libur ayah ada di rumah, mengurus dan bermain bersama di rumah atau mengajak anaknya jalan-jalan?
Nah, ternyata di hari libur pun beliau lebih sering sibuk dengan urusannya sendiri.
Ketika saya beranjak dewasa, saya beberapa kali mendengar keluhan ibu, terutama mengenai ayah yang kurang berpartisipasi dalam mengasuh dan mendidik anak-anak. Segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak dari A sampai Z, ibu yang mengerjakan. Karena beban kerja rumah tangga yang timpang itulah ibu lebih sering sakit.
Lama kelamaan saya semakin menyadari bahwa saya dan dua adik saya termasuk anak-anak “fatherless”. “Fatherless” merupakan istilah yang merujuk pada ketidakhadiran fisik maupun psikologis seorang ayah dalam pengasuhan anak. Kurang lebih beginilah dampak “fatherless” yang saya alami.
Pertama, self-esteem dan rasa percaya diri yang rendah
Pola pengasuhan ayah yang cenderung less protective sesungguhnya baik untuk mendidik anak agar lebih berani bereksplorasi, bersikap asertif, mengambil risiko dan membuat keputusan. Namun, kurangnya peran dan kehadiran ayah, baik secara fisik maupun psikologis membuat saya tumbuh menjadi anak perempuan dengan self-esteem dan rasa percaya diri yang rendah serta kurang berani mengambil risiko.
Kedua, rentan terjebak relasi toksik
Partisipasi ayah dalam pengasuhan anak perempuan ternyata bermanfaat bagi anak perempuan saat kelak ia menjalin relasi romantis.
Kurangnya kasih sayang dan kedekatan dengan ayah membuat saya bodoh dalam memahami red flag lelaki. Ditambah self-esteem dan rasa percaya diri yang rendah membuat saya tidak mampu memahami nilai diri. Akibatnya, ketika punya pacar, saya jadi bucin sehingga mudah terjebak pada relasi toksik.
Ketika pacar (sekarang mantan) merendahkan harga diri saya, saya cenderung menyalahkan diri sendiri, menganggap diri tidak berguna dan berharga. Syukurlah, meski mengalami kesulitan, saya masih bisa melepaskan diri dari relasi toksik tersebut sebelum hal yang lebih parah semakin menghancurkan saya.
Ketiga, sering merasa kesepian dan kurang kasih sayang
Sebenarnya saya iri pada teman-teman, terutama teman-teman perempuan yang dekat dengan ayahnya.
Saya tahu ayah sangat sibuk dan jarang di rumah. Kami, anak-anaknya sudah paham itu sejak kecil.
Secara materi, Alhamdulillah kami merasa cukup. Namun, kami juga butuh perhatian dan kasih sayang seorang ayah, bukan hanya uang.
Keempat, sering kesal pada ibu
Sebab, waktu masih kecil saya sering dimarahi ibu.
Setelah dewasa dan lebih sering berbicara dengan ibu, saya jadi tahu kenapa ibu bersikap seperti itu. Alih-alih marah, saya justru merasa kasihan dan memaklumi sikap beliau.
Selepas saya lahir, ibu sempat kembali bekerja. Sayangnya, baru sebentar kembali bekerja, ibu terpaksa mengundurkan diri karena diminta untuk fokus mengurus anak serta rumah tangga.
Ibu yang terbiasa bekerja dan sejak muda aktif berkegiatan di luar rumah, tiba-tiba disuruh menjadi ibu rumah tangga. Wajarlah ibu stres dan depresi. Meski tidak mengatakannya secara jelas dan lugas, saya tahu beliau sebenarnya merasa terpaksa. Berbeda ceritanya kalau ibu menjadi ibu rumah tangga karena pilihan sendiri.
Di titik inilah saya mulai membenci patriarki. Patriarki telah menciptakan peran gender tradisional, di mana tugas pengasuhan dan pendidikan anak hanya dibebankan pada ibu.
Gara-gara ketimpangan peran gender inilah, ibu saya terpaksa membuang mimpi-mimpi dan kesenangannya.
Oleh karena itu, ketika kami beranjak dewasa, kami tidak pernah mempermasalahkan kalau ibu mau berkegiatan di luar rumah, menghadiri reuni, piknik dengan teman-temannya atau melakukan apapun yang beliau senangi. Kami malah senang melihat ibu bisa sejenak lepas dari rutinitasnya.
Lalu, bagaimana saya menyikapinya?
Pertama, saya belajar untuk tidak menormalisasi ketimpangan peran gender antara laki-laki dan perempuan.
Siapa bilang ruang publik hanya untuk laki-laki? Siapa bilang pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak hanya tanggung jawab perempuan?
Laki-laki dan perempuan sama-sama punya potensi. Baik ruang publik maupun ruang domestik seharusnya menjadi tempat yang aman bagi mereka untuk mengembangkan potensi dan saling bekerja sama.
Karena saya tahu rasanya jadi anak perempuan fatherless, saya jadi lebih berhati-hati untuk menjalin relasi romantis, terutama pada laki-laki yang mengajak menikah. Saya juga harus memastikan bahwa kami punya visi-misi yang sejalan, termasuk masalah pola asuh anak. Cukup saya saja yang fatherless, anak saya jangan.
Saya juga mulai belajar untuk mengenali red flag dan bersikap lebih berani membela diri ketika direndahkan. Dalam hubungan dengan mantan yang terakhir, syukurlah saya bisa bertindak lebih rasional dan tidak terlalu bucin seperti hubungan yang terdahulu.
Saya tidak bisa mengatur mau lahir dari orangtua seperti apa. Alih-alih membenci ayah, saya mencoba untuk tetap bersyukur pada hal-hal baik lain yang terjadi di hidup saya.
Menjadi anak perempuan fatherless memang tidak enak. Namun, kalau tidak begini, mungkin saya akan terlena pada kenyamanan sehingga menganggap bahwa nasib dan kondisi perempuan di sekitar kita wajar dan baik-baik saja. Ketidakberuntungan ini justru memantik kesadaran untuk belajar, berempati dan sesekali ikut menyuarakan keresahan atas kondisi perempuan lain yang lebih tidak beruntung dari saya.
Ditulis oleh Luna Septalisa untuk Inspirasianakita
Facebook Comments