Doa dan Air Mata Anna

Raung suara ambulans tak lagi membuat hati Anna gelisah. Setelah dua minggu mendampingi suami tercinta, Anna telah terbiasa dengan hiruk pikuk dan aroma khas rumah sakit di pinggiran ibu kota itu.

Pagi itu wajah suaminya masih kuyu. Tak banyak perubahan setelah ia jatuh pingsan sehabis mandi sore dua minggu lalu. Usia kepala enam dan komplikasi aneka penyakit membawa suami tercinta kini hanya berbaring lemah tanpa daya. Belum juga siuman.
Anna mengusap lembut pipi suaminya. “Pa, kita doa pagi dulu ya. Aku tahu, Papa bisa dengar suaraku.”

Anna mulai berdoa, “Tuhan, kasihanilah kami. Terima kasih atas hari baru yang Engkau anugerahkan pada kami. Sembuhkanlah suamiku, ya Tuhan. Berkatilah semua dokter dan perawat yang setia mengusahakan kesembuhannya. Amin.”

Demikianlah doa paginya. Singkat dan bersahaja, namun selalu basah dengan air mata. Juga doa malam yang biasa ia lakukan bersama sang belahan jiwa.
**
“Ibu Anna, selamat pagi.” Sapaan lembut itu sedikit mengejutkan Anna. Rupanya, dokter Silvi.
“Dok, tumben pagi-pagi sudah tiba. Ada apa?” tanya Anna.
“Maaf ya, Bu Anna, saya sengaja datang lebih pagi untuk membuktikan sesuatu,” jawab sang dokter.

“Membuktikan apa, Dok?” selidik Anna.
“Membuktikan perkataan para perawat tentang Ibu. Kata mereka, Bu Anna sangat sayang pada suami. Tekun mengajak berdoa bersama di pagi dan malam hari. Ternyata benar. Tadi saya intip dari balik kaca.”

Anna tersipu malu. “Ah, dokter Silvi bisa aja. Cuma doa biasa seorang istri.”
Dokter Silvi memeriksa sejenak kondisi si pria gagah yang kini terkulai lemah. Tidak ada sepatah kata pun dikatakannya soal keadaan pasiennya.

Anna mafhum, apa arti diamnya sang dokter beberapa hari terakhir saat memeriksa suaminya. Tidak ada perkembangan positif yang bisa dikatakan dokter yang lebih muda sekitar dua puluh tahun darinya itu.

“Bu Anna, boleh saya cerita soal suami saya,” tanya sang dokter setelah usai membubuhkan catatan singkat di mapnya.

“Tentu boleh, Dok. Saya dengan senang hati mendengarkan,” jawab Anna.
“Begini, Bu Anna. Suami saya kok sebulan ini aneh. Ketika makan malam bersama saya dan anak, sepertinya tidak nyaman. Setelah makan, langsung sibuk di kamar kerjanya.
Padahal, setahu saya, gegara corona ini, banyak klien batalkan order rancangan bangunan. Saya curiga, dia sebenarnya sedang asyik chat dengan wanita lain. Karena itu, akhir-akhir ini saya diamkan suami saya,” tutur Silvi.

Anna terdiam sejenak. Ia tak menyangka, dokter Silvi yang selalu ceria itu rupanya menyimpan beban di hati.

“Ya, namanya hidup berumah tangga ada gelombang-gelombangnya, Dok. Coba ajak suami bicara baik-baik. Jangan malah diem-dieman begitu.
Tanya pada suami, sedang ada masalah apa. Belum tentu suami tergoda wanita lain. Apa ada sikap dan tindakan Dokter yang membuat suami sakit hati? Juga sebaliknya. Mungkin dalam bahtera rumah tangga, kita sering tidak sadar telah melukai hati pasangan hidup,” nasihat Anna.

“Benar juga, ya Bu. Mungkin saya yang terlalu curiga. Saya akan coba lakukan nasihat Ibu. O ya, Bu Anna punya putra-putri?”

Anna menghela nafas panjang. “Putri tunggal kami sedikit lebih muda dari Dokter. Tapi karena suatu hal, dia dan suaminya menjauh dari kami. Sekarang mereka tinggal di Jawa Timur,” tuturnya.

“Oh, maaf Bu Anna. Bukan maksud saya membuat Ibu harus mengingat pengalaman kurang membahagiakan itu.”
Anna tersenyum. “Tidak apa-apa, Dok. Pahit manis kehidupan begitu adanya. Yang penting kita sebagai keluarga tetap saling mendoakan dan mengasihi, apa pun yang terjadi.”
Dokter Silvi mengangguk. Dengan santun ia mohon diri,“Saya akan visit lima hari lagi. Kebetulan ada undangan dari kerabat di Sumatera. Dokter Thomas akan sementara gantikan saya.”
**

Hari-hari berganti dengan cepat. Kondisi sang suami tercinta tak jua membaik. Bahkan, makin buruk.

Dokter Thomas berkata, secara medis sudah tidak ada lagi harapan sembuh. Karena itu, Anna makin khusyuk berdoa di sisi suaminya yang makin lemah tanpa daya.

Sebagai istri, ia sudah berusaha lakukan apa yang ia bisa.
Tetiba seorang perawat muncul. “Ibu Anna, maaf. Ini ada telepon dari Dokter Silvi.” Anna segera menerima panggilan dari jauh itu.

“Bu Anna, pertama-tama saya berterima kasih pada Ibu. Saya sudah bicara hati ke hati dengan suami saya. Kami sepakat untuk saling memperbaiki diri.
Lalu, Dokter Thomas juga sudah mengontak saya soal kondisi suami Ibu. Kami sebagai tenaga medis hanya bisa melakukan apa yang kami mampu. Doa saya untuk keluarga Ibu.”

Anna sesaat terdiam, tak mampu berkata-kata. “Terima kasih, Dok. Biarlah kehendak Tuhan yang terjadi.”

Baru saja Anna mengakhiri panggilan telepon, detak jantung suami tercinta makin lemah. Sang perawat bergegas memanggil dokter jaga. Sementara itu, dengan tangan tengadah, Anna berdoa.

”Ya Tuhan, kasihanilah suamiku. Ampunilah dosa-dosanya. Aku yakin, di saat terakhir hidupnya, ia masih mendengar doa-doa dan ajakan tobat dariku.

Tak aku ingat lagi segala pengkhianatannya padaku. Sudah kumaafkan kelakuannya yang juga telah menyakiti hati putriku. Kepada kerahiman-Mu kupasrahkan suamiku.”

Detak jantung sang suami makin jarang. Akan tetapi, wajah sang suami yang tadinya penuh beban berubah jadi lebih damai.

Sedamai hati Anna saat melihat mukjizat terjadi pada detik-detik akhir hayat suami yang selalu ia cintai, apa pun yang terjadi.
Air mata Anna kembali mengalir deras. Kali ini bukan lagi air mata duka, tapi air mata bahagia.

Ria Gita untuk Inspirasianakita

Facebook Comments