Pernahkah Anda menemukan seseorang yang dari gelar akademiknya tampak mentereng, bahkan lebih panjang dari namanya, tapi perilaku dan ucapannya sama sekali tidak mencerminkan gelarnya?
Menurut Anda, apakah dengan banyaknya lulusan perguruan tinggi berdampak pada perubahan dan perbaikan kehidupan bangsa, baik dari segi sosial, politik dan ekonomi?
Kembali ke judul. Mungkinkah hal seperti itu terjadi? Bukankah orang yang bersekolah pasti berpendidikan?
Dalam KBBI, sekolah artinya: (1) bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar; (2) waktu atau pertemuan ketika murid diberi pelajaran; (3) usaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan); dan (4) belajar di sekolah.
Sementara pendidikan artinya: (1) proses, cara, perbuatan mendidik dan (2) proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dari definisi ini, kita bisa katakan bahwa sekolah itu punya batas ruang (bangunan sekolah) dan waktu (jam pelajaran dan waktu yang ditempuh untuk setiap jenjang sekolah). Namun, tidak demikian untuk pendidikan.
Itu artinya, pendidkan sebagai sebuah proses akan terus berjalan sepanjang hidup manusia. Orang boleh sudah selesai sekolah di usia tertentu, tapi pendidikan hanya akan khatam ketika nyawanya sudah dicabut dari badan. Sebagaimana ungkapan yang terkenal dalam agama Islam, “Menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat”.
Sayangnya, fenomena orang bersekolah tapi tidak berpendidikan itu jamak di sekeliling kita.
Berapa banyak orang bergelar doktor tapi tersandung kasus korupsi? Berapa banyak orang bergelar profesor tapi menggadaikan ilmunya demi kekayaan dan kekuasaan?
Berapa banyak sarjana yang—jangankan urusan pekerjaan—untuk urusan pribadinya saja, tidak mampu membuat keputusan? Berapa banyak orang lulusan S-1, S-2, S-3, S-doger, S-teler dan S-S lainnya yang mudah disesatkan oleh berita hoaks, bahkan menjadi provokator?
Kita bakal lebih mengernyitkan dahi apabila mereka yang berperilaku demikian dulunya adalah langganan juara kelas.
Terkait hal ini, nampaknya kita perlu belajar pada sosok Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau biasa dikenal dengan Romo Mangun, soal gagasan dan visi pendidikan yang memanusiakan manusia.
Visi pendidikan yang digagasnya sedikit-banyak mengingatkan kita pada visi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, yaitu membentuk manusia sebagai pribadi yang utuh dan menjadikannya pembelajar (discipula humana) seumur hidup.
Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang mampu menciptakan manusia-manusia yang selalu resah setiap melihat ketidaksetaraan, penidasan dan kesewenang-wenangan. Merekalah manusia yang fasih membedakan antara yang baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas. Merekalah manusia dengan empati yang terasah.
Sementara seorang pembelajar seumur hidup adalah manusia-manusia yang pikiran dan hatinya selalu diliputi pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan mendorongnya untuk mencari jawaban, menggugat atau mengkritisi jika ada yang tidak sesuai, bahkan menciptakan sesuatu yang baru dan lebih baik.
Singkat kata, orang yang terdidik (bukan hanya terpelajar atau pernah sekolah) adalah orang yang seimbang antara kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Manusia yang antara pikiran, hati, ucapan dan perbuatan sejalan, bukan berlawanan.
Sayangnya, sekolah-sekolah kita hingga hari ini masih memelihara warisan pendidikan era kolonial. Cara mendidik ala kolonial inilah yang justru mematikan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis, mengekang kebebasan dan kemandirian serta menjauhkan kita dari kehidupan.
Sekolah bukan membentuk kita menjadi manusia yang lebih manusiawi, melainkan manusia bermental pecundang dan penjajah. Membuat kita menjadi budak nilai, penghamba ijazah dan pemuja gelar, tapi abai pada proses, substansi dan efek jangka panjang bagi diri maupun masyarakat.
Padahal pendidikan nasional yang bermutu–menurut Penjelasan Umum PP Standar Pendidikan Nasional 2021–merupakan fondasi pembangunan sumber daya manusia yang unggul dan mampu secara proaktif menjawab tantangan zaman yang terus berubah.
Dengan demikian, cara mendidik ala kolonial tidak seharusnya dipelihara jika ingin bangsa ini punya keunggulan kompetitif yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Namun, untuk bisa sampai pada tahap itu, bangsa ini harus dapat mengatasi masalahnya terlebih dulu. Entah itu soal korupsi, kemiskinan struktural, fanatisme golongan, overdosis agama dan sebagainya. Dan masalah-masalah tersebut hanya bisa diatasi jika kita punya lebih banyak orang yang terdidik (well-educated), bukan hanya yang pernah sekolah.
Ditulis oleh Luna Septalisa
Facebook Comments