Bahasa adalah alat komunikasi yang dibutuhkan dan digunakan semua manusia untuk menyampaikan pesan dan makna. Bahkan, orang yang tunawicara dan bayi yang belum bisa bicara sejatinya tetap berbahasa meski dengan isyarat.
Keterampilan berbahasa sering dilekatkan dengan profesi tertentu seperti penulis, penerjemah, jurnalis, editor atau copywriter. Namun, mengingat fungsinya sebagai alat komunikasi, saya kurang sependapat kalau keterampilan berbahasa hanya dikaitkan dengan profesi yang berhubungan dengan dunia kepenulisan atau media.
Keterampilan berbahasa sejatinya bukan hanya soal pemahaman gramatikal, melainkan juga tentang kepekaan berbahasa, baik secara lisan maupun tulisan. Meski terdengar lebih abstrak, kepekaan berbahasa penting agar komunikasi jadi efektif, tidak menimbulkan kesalahpahaman, sakit hati atau masalah lain yang lebih runyam.
Dalam bahasa lisan, kata “jancuk” (bahasa Jawa Timuran) misalnya, bisa bermakna umpatan atau ekspresi kekesalan maupun tanda keakraban, tergantung pada siapa yang mengucapkannya, ditujukan kepada siapa, maksudnya apa, waktu/tempat/kondisi yang seperti apa.
Kata “jancuk” yang diucapkan sebagai sapaan kepada kawan akrab akan punya makna berbeda dengan kata “jancuk” yang diucapkan kepada orang tidak dikenal yang berkendara di jalan raya secara ugal-ugalan dan hampir menyerempet kita.
Contoh di atas adalah mengenai pentingnya kepekaan berbahasa dalam komunikasi lisan. Bagaimana dengan kepekaan berbahasa dalam tulisan? Mengingat dalam bahasa tulis, kita tidak dapat mendengar nada bicara atau melihat ekspresi serta gesture lawan bicara, bahasa tulis rentan disalahpahami.
Kepekaan berbahasa dalam bahasa tulis sangat penting, terutama bagi industri media. Salah satunya adalah soal pemilihan diksi yang tepat agar framing media atas seseorang, kelompok atau peristiwa tidak menimbulkan persepsi yang salah di masyarakat.
Satu contoh yang seringkali membuat saya prihatin adalah pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual. Sebagian media di Tanah Air, terutama media daring, masih kerap menggunakan diksi yang tidak berperspektif korban. Alih-alih fokus pada penyelesaian kasus, media tersebut malah menyudutkan dan mengeksploitasi trauma korban dengan pemilihan diksi yang tidak tepat.
Tak jarang hal itu bahkan sudah bisa dilihat dari judulnya. Judul berita seperti “Gadis ABG Berusia 15 Tahun Diperkosa oleh 11 Pria” atau “Janda Cantik Ditemukan Tewas Terbunuh di Kamar Hotel Melati” dan banyak contoh serupa, betul-betul membuat dahi saya berkerut.
Ketimbang “gadis ABG”. mengapa tidak gunakan diksi “anak perempuan”? Toh, secara hukum, usia di bawah 19 tahun masih dianggap sebagai anak di bawah umur.
Saya juga beberapa kali menemukan kata “pemerkosaan” diperhalus menjadi “persetubuhan” atau kata “diperkosa” yang diperhalus menjadi “digagahi”. Persoalannya bukan pada vulgar-tidak vulgar, melainkan penggunaan kata atau istilah yang tidak tepat justru menyesatkan pemahaman pembaca.
Lalu, mengapa pula harus menyertakan kata “cantik” setelah kata “janda”? Dari sini saja sudah ada dua masalah.
Pertama, apa pentingnya menyebutkan status janda perempuan tersebut? Penyebutan yang tidak pada tempatnya ini justru semakin mempertebal stigma janda sebagai perempuan amoral. Kedua, informasi mengenai penampilan fisik korban itu tidak penting. Kata “cantik” yang disandingkan dengan kata “janda” tak lain adalah bentuk objektifikasi.
Pentingnya Melatih Kepekaan Berbahasa
Bagi orang yang paham mengenai kekuatan sebuah kata, dia tidak akan sembarangan bermain kara. Oleh karena itu, selain menguasai pengetahuan dan kemampuan teknis, kepekaan berbahasa juga penting. Bagaimana cara melatih kepekaan berbahasa?
1. Menulis, menulis dan menulis
Sama dengan pemahaman seputar EYD dan PUEBI, kepekaan berbahasa harus terus dilatih. Bedanya, kalau EYD dan PUEBI ada teorinya dan bersifat teknis, kepekaan berbahasa tidak. Meski tetap butuh pengetahuan dan kemampuan teknis, kepekaan berbahasa juga mengandalkan rasa atau naluri keindahan, imajinasi, empati, pemahaman kontekstual dan sebagainya.
2. Perluas pengetahuan dan perkaya kosakata
Salah satu sebab sebagian media ugal-ugalan dalam memberitakan kasus kekerasan seksual adalah kurangnya pengetahuan soal sexual consent.
Kalau kasusnya adalah pemerkosaan, jangan sebut itu sebagai persetubuhan karena makna dan konteksnya berbeda.
Contoh lainnya adalah pemberitaan tentang isu lingkungan dan krisis iklim. Meski hanya istilah, media-media internasional banyak yang sudah mengganti istilah climate change (perubahan iklim) dengan climate crisis (krisis iklim). Penggantian istilah itu dilakukan karena lebih tepat untuk menggambarkan kondisi yang terjadi sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat. Untuk bisa seperti ini, media yang bersangkutan harus punya kepekaan dan pemahaman yang memadai soal isu tersebut. Bukan hanya media, kita juga bisa kok membiasakan diri menggunakan istilah dan diksi yang tepat.
3. Belajar seni dan sastra
Kepekaan berbahasa juga masih berkaitan dengan cara kita memahami dan mengelola emosi. Sisi emosional itu dapat diasah melalui seni dan sastra.
Coba baca puisi, cerpen, novel, roman atau karya sastra apapun. Kemudian rasakan dan perhatikan bagaimana mereka mengolah emosi, mengimajinasikan dan mempersepsikan seseorang atau tokoh, benda maupun peristiwa tertentu hingga menjadi bait-bait puisi atau paragraf-paragraf prosa.
Atau lihat bagaimana sebuah novel yang berlatar belakang peristiwa kelam mampu menyajikan sisi kemanusiaan para tokohnya.
Dalam menulis, aspek yang penting diperhatikan agar tulisan tidak hambar dan pembaca tidak kabur, tapi sekaligus yang paling sulit dilakukan adalah menyentuh sisi emosional pembaca. Kenapa sebuah puisi, cerpen atau bahkan tulisan nonfiksi bisa tampak indah dan membuat pembaca merasakan emosi tertentu? Selain karena storytelling yang baik, lagi-lagi pemilihan diksi yang tepat dalam menggambarkan atau menjelaskan suatu hal juga berpengaruh terhadap emosi pembaca.
Ditulis oleh Luna Septalisa untuk Inspirasianakita
Facebook Comments