Sebuah Permenungan Kehidupan oleh Bobby Steven*
Pemulung kerap kita pandang sebelah mata dengan curiga berkecamuk. Tersua di mana-mana: Pemulung dilarang masuk! Benar, ada oknum pemulung yang kurang jujur. Akan tetapi, jauh lebih banyak pemulung berhati mulia yang hidup tak mujur.
Salah satunya seorang wanita pemulung yang saya temui di sebuah jalan. Perempuan paruh baya ini tinggal di bawah kolong jembatan. Ia sebatang kara dalam kesendirian. Jauh dari Temanggung, kota kelahiran. Nafkahnya tergantung pada barang bekas yang berhasil ia kumpulkan. Kala hujan deras turun, ia hanya bisa berteduh di emperan dengan rasa lapar yang ditahan.
Pernahkah kita menyapa dan nguwongke pemulung? Ataukah kita membiarkan mereka tersingkir dari panggung, tak ubahnya dengan sampah yang kita biarkan menggunung? Siapa peduli pada mereka yang tak beruntung?
Wanita pemulung itu bernama Noriyah. Jika saya tak berinisiatif berkenalan dengannya, kami akan tetap berada dalam dunia anonim yang tak ramah. Untuk apa menyapa seorang asing yang memulung sampah? Kita lupa, tanpa pemulung, sampah tumpah ruah.
Kita hanya pandai menumpuk sampah hingga tingginya melebihi menara. Padahal, jika kita sadar memilah sampah dari rumah, dunia akan terasa bak surga. Paling tidak, bagi pemulung yang menerima pemberian sampah terpilah dari kita.
Tangan-tangan terampil pemulunglah yang memilih dan memilah sampah. Sementara itu, tangan-tangan kita sibuk mengetik sumpah serapah. Seenaknya kita lempar sampah dari kaca jendela mobil mewah. Sungguh parah!
Kita seharusnya malu pada si Bule Sampah berhati agung. Benedict Wermter, pria Jerman itu, mengangkat para pemulung ke atas panggung. Bisnis pengolahan sampah yang ia rintis menempatkan pemulung sebagai jantung. Pemulunglah malaikat tak bersayap yang adiluhung.
Wajah Noriyah mengusik kesadaran hati. Noriyah tentu tak kenal siapa Jean Baudrillard, filsuf Perancis yang menelanjangi kegilaan orang modern membeli kode penanda gengsi, bukan barang itu sendiri. Tapi, Noriyahlah yang memungut ampas konsumerisme itu tiap hari.
Celakalah kita yang terbiasa menyia-nyiakan sesama insan dan alam ciptaan. Membasmi culture of waste itu terus Jorge Mario Bergoglio alias Paus Fransiskus tekankan. Kapankah kita bisa hentikanlah kegilaan kita gonta-ganti pakaian ala fast fashion dan belanja tak terkendalikan?
Ironinya, Noriyah dan para pemulung jalanan jarang bersalin sandangan. Jelang Pemilu, barulah timses capres-cawapres dan caleg berdatangan. Membagikan kaos gratis dan janji manis perubahan. Sampai kapan Noriyah dan kawan-kawan hanya jadi sapi perahan?
Pemerhati Pemulung di Jakarta Utara
Dari Jogja kita terbang ke Jakarta Utara. Di Jembatan Tiga Penjaringan, ada Sekolah Anak Kolong yang diasuh Hermina. Almarhum Paulus Madur, ayah Hermina pada 1995 merintis semua. Pria bersahaja itu miris melihat anak-anak pemulung, buruh cuci, dan wanita malam terjebak dalam kebodohan yang meraja. Tanpa akta kelahiran dan uang, mana ada sekolah mau menerima mereka?
Dengan uang hasil keringat sendiri, Paulus Madur dan Hermina getol mendidik anak bangsa di kolong tol. Dua dasawarsa berlalu sudah. Paulus dan Hermina mengangkat anak-anak pemulung dari tumpukan sampah. Ironinya, kini anak-anak itu terancam kehilangan sekolah. Tol harus ditambah!
Pernah datang seorang pejabat tinggi beberapa tahun lalu ke sekolah Hermina. Tebar pesona semata. Tiada aksi nyata setelahnya.
Belum lama dari Yogyakarta saya menulis surat ke anggota dewan terhormat. Sekolah Anak Kolong terancam penggusuran! Siapa peduli, wahai tuan-nyonya pejabat?
Surat perintah memang turun ke dinas dengan cepat. Tetapi, Hermina dan anak-anak kolong malah dipingpong. Disuruh pindah ke rusun, ke sekolah, ke mana sajalah asal kolong tol kosong melompong. Hermina gusar. Seolah ia harus mengubur sejenak impian menjadikan taman belajar itu semacam sekolah dasar.
Dari kolong tol Penjaringan, angan saya melayang pada kisah nyata dari Semarang. Suatu hari jelang Natal, sebuah gereja mengadakan makan bersama anak-anak jalanan yang terbuang.
Di antara puluhan anak yang makan nasi kotak dengan lahap, seorang bocah diam tak berucap. Pastor yang melihat pun lantas mendekat. “Kenapa, Dik? Apa makanan ini bagimu tak lezat?” “Nasi kotak ini mau saya beri ke kakak yang sakit,” ungkapnya lugu. Kasih bocah pemulung membuat sang padri terharu. Ia mafhum, pada wong ciliklah ia harus terus berguru.
Kisah-kisah kaum marginal sungguh genting. Walakin, di sebuah negeri anggaran pemberantasan anak tengkes malah dipakai untuk rapat tak penting. William E. Vaughn berpesan, “Alangkah baiknya jika setidaknya setengah dari anggaran studi kemiskinan diberikan pada kaum terpinggirkan!”.
*Pemerhati kaum marginal. Dosen Universitas Sanata Dharma.
Facebook Comments