Gelaran Piala Eropa 2024 tak hanya menjadi tontonan, namun juga menyajikan inspirasi dan “kritikan halus” bagi sepak bola Indonesia.
Ironisnya, saat bintang-bintang muda Eropa memamerkan potensi, tersiar video dugaan pengaturan skor dalam sebuah pertandingan usia 12 tahun ke bawah di Makassar. Kalau pemain belia saja sudah diajar berbuat curang, mau dibawa ke mana sepak bola kita?
Apa yang baru saja terjadi di level akar rumput ini mencerminkan wajah sepak bola kita yang tercoreng oleh aneka praktik manipulatif. Sejak lama pengaturan skor dan salah urus menggerogoti sepak bola nasional.
Mari kita belajar dari dua finalis Piala Eropa tahun ini: Spanyol dan Inggris. Dua negara ini sejak lama menjadi barometer pembinaan usia dini. Hasilnya tampak nyata. Lamine Yamal, bocah Spanyol berusia 16 tahun, menjadi pencetak gol termuda Piala Eropa. Uniknya, dia mengikuti Piala Eropa sembari mengerjakan tugas sekolah. Kobie Mainoo, remaja Inggris berumur 19 tahun, menjadi lawan sepadan bagi Yamal dan tim Matador.
Spanyol dan Inggris merajai turnamen Eropa dan dunia. Spanyol telah menjuarai Piala Eropa 2008 dan 2012 serta Piala Dunia 2010. Inggris menjadi finalis Piala Eropa 2021 dan 2024. Para penggawa tim nasional dua negara ini bermain di kompetisi level tertinggi sepak bola dunia.
Meritokrasi
Ciri utama pembinaan atlet yang benar adalah sistem meritokrasi. Seseorang mendapatkan kesempatan karena memang pantas mendapatkannya. Bukan karena berstatus sebagai pemain titipan. Bukan pula karena tiba-tiba didatangkan lewat jalur instan.
Tengoklah bagaimana atlet sepak bola kasta tertinggi dunia merangkak dari level usia dini hingga senior. Lihatlah bagaimana piramida kompetisi nasional negara-negara adidaya dalam sepak bola disusun rapi.
Lamine Yamal bermain bola sejak usia empat tahun. Kobbie Mainoo sejak sembilan tahun. Mereka tumbuh dalam struktur kompetisi berjenjang sepak bola domestik sejak kanak-kanak. Mereka bukan pemain keturunan yang tiba-tiba dimasukkan tim nasional.
Bukan berarti kita menutup pintu pada pemain keturunan Indonesia yang juga punya hak membela tim nasional. Akan tetapi, bukankah seharusnya jalur normal pembinaan berjenjang di dalam negerilah yang menjadi ujung tombak? Kedatangan pemain “dadakan” dari luar negeri adalah langkah instan yang pada akhirnya berhasil sesaat saja. Bahkan, bisa meninabobokan pembinaan via kompetisi domestik.
Tak perlu jauh-jauh mencari pemain andal. Lihatlah kesuksesan tim Jepang dan Korea Selatan yang sudah cukup lama berhasil membangun timnas tangguh dari kompetisi domestik yang ajek. Tim-tim hebat dibentuk dalam waktu panjang, bukan jalur instan.
Benar bahwa dalam sepak bola internasional sekarang, banyak pula timnas dibentuk dari pemain keturunan. Tak kita sangkal, fisik pemain dari Benua Biru lebih unggul dari sisi tinggi badan, misalnya. Akan tetapi, sebaiknya para pemain “keturunan” ini menjadi pelengkap saja.
Cetak biru nasional
Bukankah kita selalu dihantui rasa penasaran, mengapa Indonesia yang penduduknya 270 juta jiwa, tetapi tidak kunjung bisa mendapatkan sebelas pemain andal untuk timnas?
Indonesia perlu meniru langkah jitu negara-negara maju, terutama para kontestan Piala Eropa. Rata-rata setiap negara maju memiliki cetak biru pembinaan sepak bola nasional. Contoh nyatanya Belgia, negara dengan hanya sebelas juta penduduk.
Sebelum menjadi langganan putaran final Piala Eropa, Belgia tersingkir dari grup saat gelaran Piala Eropa 2000. Padahal, saat itu Belgia berstatus sebagai tuan rumah bersama Belanda.
Pil pahit Piala Eropa 2000 justru memicu Belgia untuk merombak pembinaan sepak bola nasionalnya. Para pengurus badan sepak bola Belgia menggandeng para akademisi untuk membuat cetak biru sepak bola nasional.
Belgia bahkan sangat memperhatikan detail dalam merancang cetak biru pembinaan pemain muda. Para ahli menganalisis data dari 1.500 pertandingan usia remaja. Dirancang kerja sama antara timnas dengan 70 pelatih di semua level kompetisi.
Timnas dan seluruh klub papan atas Belgia sepakat meninggalkan formasi tradisional 4-4-2. Belgia lantas menggunakan formasi 4-3-3 yang lebih fleksibel, agresif, dan menekankan tanggung jawab tiap pemain dalam menguasai bola. Jumlah klub profesional Belgia yang hanya dua belas justru memudahkan pelaksanaan cetak biru nasional ini.
Saat pertama kali dicoba dalam pertandingan U-17 melawan Prancis, Belgia takluk 7-1. Akan tetapi, setahun kemudian, Belgia berhasil menundukkan Prancis. Saat ini, para pemain seperti Romelu Lukaku, Eden Hazard, dan Kevin de Bruyne baru berusia delapan sampai sepuluh tahun.
Kecerdikan, kesabaran, dan kerja keras Belgia berbuah manis beberapa tahun kemudian. Setelah sempat berada pada peringkat 71 dunia, pada Juli 2014 Belgia berhasil lolos perempatfinal Piala Dunia sehingga melesat ke peringkat satu dunia pada 2015. Belgia kembali mengejutkan saat berhasil meraih peringkat ketiga Piala Dunia 2018.
Belajar dari Belgia, cetak biru sepak bola nasional adalah jawaban atas pertanyaan klasik yang selalu mengusik kita. PSSI perlu bekerja sama dengan segenap pemangku kepentingan sepak bola guna merancang purwarupa cetak biru pembinaan sepak bola domestik.
Pemerintah kita melalui Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2021 tentang Desain Besar Olahraga Nasional. Akan tetapi, Perpres ini tampaknya terlalu umum. Padahal, kita memerlukan cetak biru pembinaan sepak bola yang terukur dan realistis.
Sains olahraga
Mari kembali membincangkan finalis Piala Eropa edisi tahun ini, Spanyol dan Inggris. Kedua tim hebat ini sangat menyadari pentingnya mengintegrasikan olahraga dengan sains. Jika memang ingin pemain berfisik dan bervisi unggul, perbaiki nutrisi dan edukasi anak bangsa.
Pemain semuda dan sehebat Lamin Yamal dan Kobbie Mainoo tidak jatuh dari langit. Mereka adalah buah dari pembinaan berbasis sains olahraga. Memang benar, talenta juga penting. Akan tetapi, pemain bertalenta akan kesulitan juga saat menghadapi pemain yang berlatih keras dan didukung sains olahraga yang jelas.
Penerapan sains olahraga menjadi keniscayaan yang mutlak pada zaman kiwari guna meningkatkan prestasi. Kita masih ingat, beberapa pemain timnas kita kedapatan makan mi instan. Mengapa mereka bisa bertindak ceroboh? Kiranya karena kurangnya pemahaman akan nutrisi, yang menjadi bagian integral sains olahraga.
Sains dan psikologi olahraga juga terbukti mampu membantu pemain mengatasi situasi genting dalam pertandingan. Bukti teranyarnya ialah keberhasilan Inggris dalam adu penalti melawan Swiss. Padahal, pada final Piala Eropa 2020, Inggris kalah adu penalti melawan Italia.
Berkat nasihat ahli sains dan psikologi olahraga, para pemain Inggris tampil lebih tenang saat hendak mengambil tendangan penalti. Pemain Inggris rata-rata bersiap selama 5,2 detik sebelum menendang bola, sementara pemain Swiss hanya 1,3 detik. Hasilnya, lima penendang Inggris berhasil mencetak gol dari titik penalti.
Akhirulkalam, kita berharap bahwa sepak bola Indonesia akan semakin maju berkat adanya cetak biru pembinaan usia dini. Menyitir Soekarno, “Berilah aku sepuluh (baca: sebelas) pemuda, niscaya kuguncangkan dunia!” Saatnya anak-anak Indonesia sungguh belajar bermain bola, bukan bermain mata.
Bobby Steven untuk Inspirasiana Kita
Facebook Comments