Gambar :Pixabay.com/Tama66
Katedrarajawen
Manakala menunjukkan kesalahan, biasanya spontan kita membela diri dengan segala omong kosong. Tak jarang pula malah menyalahkan pihak lain.
Walaupun sudah ada bukti kesalahan, kita tetap berusaha membela diri sampai titik darah penghabisan dengan segala cara dan pembenaran.
Hal ini terjadi karena tiada jiwa satria untuk mengakui kesalahan sendiri. Akibatnya yang terjadi menutupi kesalahan dengan kesalahan lagi.
Pernah menjadi pelakunya sendiri?
Kapan akan bisa mengubah diri bila ini terus terjadi?
Berubah itu perlu keberanian dan keteguhan hati. Bila tidak selamanya akan menjadi budak si ego.
Hari itu saya hendak menyerahkan kelengkapan berkas yang diminta tempat anak kuliah tahun ini. Tentu saya mempersiapkan dengan baik dan teliti.
Karena fotokopi KTP yang anak sertakan menurut saya kurang bagus, saya berniat untuk mengganti dengan fotokopi KTP-nya yang lebih bagus.
Saya ke tempat fotokopi dengan mengambil gambar KTP tersebut dari gawai untuk dicetak.
Setelah selesai dan saya lihat, ternyata sebelahnya polos saja. Menurut saya mestinya fotokopi depan dan belakang.
“Pak, kok cuma sebelah fotokopinya?” tanya saya bernada protes.
“Kan, yang Bapak kirim juga gambarnya sebelah!”
Jawaban yang membuat saya seketika tersentak. Ah. Ibarat sebuah sakelar yang tertekan lalu menerangi ruangan yang gelap. Serasa baru terbangun dari tidur.
Saya baru sadar apa yang dilakukan tukang fotokopi justru sudah benar. Hasilnya sesuai berkas yang saya kirim.
Kenapa justru saya yang protes atas kesalahan sendiri pada pihak lain?
Saya pikir di antara kita juga sering kali mengalami kejadian serupa. Begitu ada kesalahan dalam satu hal, spontan yang kita lakukan adalah menyalahkan orang lain. Cara membela diri yang klasik.
Benar atau betul?
Jangan-jangan cuma saya yang lakukan?
Apabila hal ini terjadi membuktikan bahwa kearifan yang ada masih rendah atau malah tidak ada.
Tiada kerendahan hati untuk melihat ke diri sendiri dahulu bila terjadi kesalahan. Yang selalu ada di pikiran orang lain yang salah.
Hal ini bisa terjadi karena pola hidup sekian lama yang menjadikan diri kita seperti ini. Kemudian menjadi sebuah persepsi di dalam diri selama perjalanan hidup.
Tanpa sadar telah membentuk diri kita yang selalu menyalahkan orang lain. Membentuk karakter selalu merasa yang paling benar. Kalau salah pun tetap harus benar. Bagaimanapun caranya.
Berdebat tiada mau mengalah. Padahal sudah salah. Ketika sudah tahu salah pun tiada berani mengakui. Yang terjadi, malah sibuk membelah diri lagi.
Apakah harus terus hidup seperti ini?
Apakah tidak ingin berbalik arah menjadi manusia bijak yang mau melihat dan mengakui kesalahan ini?
Saya yakin di dalam setiap diri pasti memiliki benih-benih kesadaran. Masalahnya adalah mau membiarkannya bertumbuh atau takpeduli dan takpeka?
Kadang pilihan sudah benar ingin berubah, masalahnya kemauan yang kurang, sehingga selalu kalah dengan keadaan dan alasan yang menjadi senjata.
Oleh sebab itu, beruntunglah bila bertemu orang-orang yang berani mengingatkan akan kesalahan diri kita.
Asalkan memiliki kerendahan hati untuk menerima, malah teguran itu bagai saat kita terkantuk-kantuk ada yang membangunkan. Bukankah ini keberuntungan?
Hidup memang proses untuk berubah diri menjadi lebih baik dengan bercermin dari segala peristiwa yang terjadi.
@cermindiri, 18 Juli 2022
Facebook Comments