Pixabay.com/adege

Katedrarajawen_Di satu sisi kita tidak ingin melakukan satu kesalahan, tanpa sadar justru kita melakukan kesalahan yang sama di sisi lain.

Ketika kita menasihati orang lain jangan melakukan suatu kesalahan, justru kita sendiri yang melakukan kesalahan tersebut.

Bukankah hal ini sering kali terjadi atau mengalami sendiri?

Kita dalam hal ini tepatnya, saya. Sebelum dibongkar pesulap merah lebih baik mengakui sendiri. Bukan karena taktahu malu, tetapi berharap menjadi pelajaran bersama. Karena hal ini siapapun bisa mengalami.

Hidup ini selalu ada ujian. Ujian untuk kekonsistenan kita.

Apakah kita teguh dengan kebaikan atau kebenaran yang menjadi jalan hidup?

Waktu itu di rumah duka. Seperti biasa untuk saudara dan teman yang datang melayat sebagai tuan rumah pasti akan menyediakan kue atau makanan kecil. Termasuk buah-buahan.

Sejak pagi saya yang menyusun kue-kue tersebut di semua meja. Setelah itu ada pemandangan yang kurang sedap. Menurut saya sangat mengganggu. Tiba-tiba mereka hadir tanpa diundang.

Apa itu? Maling? Tentu bukan!

Para pelayat belum datang, justru para lalat yang beterbangan datang lebih dahulu.

Saya berusaha menutupi dengan tisu, tetapi tidak cukup membantu. Bentuknya yang ringan jadi mudah tersibak.

Ada ide dari ponakan untuk menggunakan perangkap lalat berupa batang sedotan yang diberi semacam lem. Mungkin ia melihat di ruang sebelah ada yang menggunakan.

Saya mengiyakan saja dan memberi sejumlah uang untuk membeli.
Kebetulan warung di dekat rumah duka ada menjual. Paslah.

Terpikir juga ini cara yang kurang bagus karena akan membuat lalat-lalat tersebut menempel dan tak bisa terbang lagi. Lalu tak lama akan mati.

Namun, bagaimana lagi? Tidak mungkin menjaga sepanjang waktu atau menangkap satu per satu lalatnya.

Apa boleh buat berusaha menutup rasa yang ada. Karena memang kehadiran lalat-lalat itu sangat mengganggu pemandangan dan juga bisa mengotori makanan yang tersedia.

Ya, sudahlah.

Sampai datang kejadian yang tak terduga. Teman-teman dari adik datang untuk berdoa. Setelah itu menjamu mereka sambil mengobrol.

Saat itulah salah satunya memperhatikan perangkap lalat yang terpasang. Kebetulan bertemu dengan saya. Beliau mengingatkan kurang bagus memasang perangkap lalat yang akan membunuh mereka.

Malu sekali. Karena tak menduga akan ada yang memperhatikan. Padahal saya sendiri vegetarian yang artinya tidak memakan makhluk yang bernyawa. Ini malah membunuh lalat. Sekalipun itu makhluk yang menjijikkan.

Secara logika memang tidak salah. Lalat itu binatang kotor dan pengganggu. Bukan hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga pemandangan. Apa salahnya membunuh mereka. Harus malah.

Itu kalau logika yang bicara. Ini kan saya sudah vegetarian yang mana tujuannya bukan semata demi menjaga kesehatan tubuh, tetapi juga kesehatan rohani. Yakni mengembangkan sifat welas asih dengan tidak membunuh semua makhluk hidup dengan sengaja.

Ya, sudah. Akhirnya perangkap lalat dicopot semua. Walau terpaksa juga haha. Inilah pembuktian kesadaran saya belum mencapai. Masih timbul tenggelam. Antara sadar dan tersesat.

Belum tercerahkan. Masih separuh terang separuh gelap. Melakukan hal baik masih tergantung kondisi dan suasana hati. Bukan benar-benar mengalir dari hati.

Bisa makan dengan tidak membunuh makhluk hidup, tetapi bisa juga membunuh makhluk yang mengganggu. Tak habis pikir. Seperti kejadian lalat inilah buktinya.

Tiada salah memang menjadi baik dan tercerahkan itu bisa menjadi perjuangan seumur hidup atau seketika tergantung bibit kebaikan dan kesadaran yang ada.

Yang bisa seketika karena akar kebaikan dan kesadaran dalam tentu luar biasa. Namun, yang sebaliknya tentu luar biasa juga. Perjuangannya. Seperti saya inilah. Yang timbul tenggelam. Bersyukur masih selalu ada kesempatan timbul kembali setelah tenggelam.

Hidup sejatinya adalah perjalanan untuk berubah menjadi lebih baik. Selama kesadaran masih ada.

@cermindiri, 07 September 2022

Facebook Comments