Katedrarajawen_
Apakah setiap membeli sesuatu di tempat yang bisa menawar harus menawar pula?
Kenapa tidak menawar bila bisa mendapatkan harga yang lebih murah?
Bukankah ini namanya pintar dan bisa mendapat untung?
Mungkin ini prinsip sebagian orang yang selalu berharap membeli barang semurah mungkin tanpa peduli pada situasi, kondisi, intuisi?
Bicara melihat situasi, kondisi, dan intuisi ada hubungan dengan kepekaan rasa. Bukan sekadar memikirkan untung dan rugi.
Namun, akan susah muncul bila yang ada dalam persepsi itu yang penting bisa membeli dengan murah.
Bisa jadi ada kepuasan tersendiri setiap membeli barang bisa mendapat dengan harga sesuai penawaran. Lumayan. Bisa menghemat cukup banyak pengeluaran.
Ya, mungkin hal yang wajar dalam hukum ekonomi. Kalau penjual prinsipnya dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya.
Tentu berbeda dengan prinsip ekonomi pembeli. Yakni dengan menawar sebanyak-banyaknya akan mendapatkan harga semurah-murahnya. Intinya akan untung.
Penjual mau dapat untung, pembeli mau dapat untung juga. Baguslah, semua untung. Artinya sama-sama puas.
Yang jual mendapat untung dari kelebihan modal, pembeli merasa mendapat untung dari kelebihannya menawar.
Namun, kalau pembeli menawar kebangetan yang pasti bikin penjual cemas dan lemas. Capai hati. Walaupun pembeli yang merasa puas.
Istilahnya ‘enak di.lu, gak enak di gue.’
Belum lama saya sambil iseng jalan-jalan sore bersama istri. Iseng karena memang tidak ada keperluan yang penting. Boleh dibilang keluar rumah sekadar cari angin.
Kemudian terpikir untuk membeli kurungan tikus. Karena yang di rumah belum lama beli sudah rusak.
Setiap taruh umpan selalu habis dimakan tikus, tetapi tikusnya bisa lolos. Sama saja bohong.
Setelah bertanya di beberapa tempat tidak ada yang menjual. Akhirnya ketemu di sebuah toko kecil.
Ada dua model dengan beberapa ukuran. Kemudian saya pilih yang sesuai kebutuhan. Harganya sama dengan yang sebelumnya saya beli. Di tempat lain.
Saya langsung setuju. Lagipula untuk harga segitu mau menawar bagaimana lagi? Dalam bayangan saya sudah terpikir modalnya berapa. Keuntungan berapa.
Wajarlah namanya jualan pasti perlu untung. Asal dengan persentase yang wajar.
Tiba-tiba istri mengeluarkan jurus sakti menawar.
“Tidak bisa lebih murah lagi, Bu?”
“Ini sudah murah, mau tawar apalagi?”
Yang jawab bukan penjualnya. Saya yang jawab.
Saya tidak mau menawar lagi bukan karena kebanyakan uang, tetapi sekadar memahami posisi dan kondisi.
Dengan harga sekian, paling berapa keuntungan yang didapat. Keuntungan yang wajar-wajar saja saya pikir. Saya juga berpikir seandainya saya yang di posisi penjual.
Sebenarnya juga tidak ada yang salah dengan kondisi istri yang berharap bisa mendapat harga yang lebih murah. Tidak ada larangan untuk menawar pula.
Saat itu saya sudah senang mendapat barang yang bagus dengan harga yang menurut saya bagus pula.
Apa salahnya tidak menawar lagi?
Biarlah yang menjual juga merasa bagus perasaannya ketika pembeli tidak menawar lagi.
Jadi sama-sama enak. Tidak perlu adu mulut lagi sampai berlama-lama untuk masalah harga.
Kadang biasanya juga ada yang menawar karena iseng. Untung-untungan. Karena barangnya memang tidak ada bandrol harga.
Walaupun barang dijual dengan harga tak seberapa ada perasaan wajib untuk menawar juga. Kalau tidak ada keharusan.
Sekali lagi kalau bisa menawar memang tidak ada yang salah. Namun, yang terpenting adalah kepekaan dalam melihat situasi, kondisi, dan posisi. Tentu saja juga merasakan intuisi yang ada.
Atau memilih menutup hati, bahwa semua suara hati yang berbisik hanya omong kosong dan tetap takpeduli?
@cermin diri, 05 Agustus 2022
Facebook Comments