Tidak sedikit kaum muda bercita-cita menjadi penulis sukses. Mungkin karena mendapat inspirasi dari kisah para penulis buku laris di dunia dan di tanah air.
Siapa tidak ingin menjadi penulis sukses seperti Ayu Utami, Andrea Hirata, Tere Liye, Ika Natassa, Pidi Baiq, dan sederet penulis tenar lainnya?
Akan tetapi, jangan buru-buru senang dulu. Mau tahu berapa royalti yang didapat penulis pemula dari satu buku terjual? Silakan ambil tisu dulu karena kalimat selanjutnya mengandung bawang.
Penulis pemula rata-rata “hanya” mendapat sekitar sembilan sampai sepuluh persen dari harga buku di toko. Misal, dari sebuah buku seharga Rp50.000 penulis pemula memperoleh Rp5.000 saja.
Inilah realita nasib penulis buku di Indonesia, negeri yang konon memiliki minat baca sangat rendah di dunia. Jajak pendapat sebuah badan PBB, UNESCO pada 2011 menunjukkan indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia cuma 0,001 persen. Ini berarti, hanya ada satu orang dari seribu orang Indonesia yang masih mau membaca buku secara serius.
Jumlah buku di Indonesia sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk. Sebuah buku di Indonesia dibaca oleh 15 ribu orang. Hal ini sangat jauh dari standar yang ditetapkan UNESCO, yaitu bahwa semestinya satu buku dibaca oleh dua orang.
Artinya, Indonesia sejatinya perlu lebih banyak buku bermutu.
Sayang sekali, kebijakan pemerintah masih belum mampu menggairahkan industri buku. Entah berapa jenis pajak yang dikenakan terhadap kertas, buku, dan penulis.
Sejak masa Orde Baru, subsidi justru banyak dialokasikan untuk bahan bakar fosil. Ini demi membuat rakyat senang dan kenyang.
Pemerintah kita sedari zaman baheula lupa membuat rakyat cerdas dengan subsidi harga buku dan insentif bagi penulis buku bermutu.
Pandemi Covid-19 yang menghantam tanah air makin memperparah kelesuan industri buku nasional. Entah berapa penerbit yang gulung tikar atau sekarat kala si Covid-19 merajalela.
Matinya sejumlah (besar) koran dan majalah (sastra) cetak yang tidak mampu beradaptasi dengan zaman serbadigital hanya memperparah derita para penulis.
Bahkan koran nasional pun menawarkan honor yang relatif kecil. Tak sebanding dengan kerja keras penulis dalam merangkai gagasan.
Merebaknya media daring dengan target klik harian yang dibebankan kantor pusat membuat praktik jurnalisme malas (lazy journalism) dan praktik umpan klik (clickbait) merebak bak jamur di musim penghujan.
Pembaca seringkali dipaksa membaca artikel yang disalin “jurnalis” dari status media sosial artis dan pemengaruh, tanpa upaya peliputan serius.
Tak mengherankan bila lama-lama generasi muda kita makin tidak mampu memahami teks secara serius, mudah termakan hoaks, dan tidak belajar merangkai kalimat dengan logis.
Inilah lingkaran setan kebodohan akibat kurangnya buku-buku bermutu yang seharusnya didapatkan masyarakat dengan mudah dan murah!
Menulis adalah menyusuri jalan sunyi
Robert Frost (1874–1963), penyair Amerika Serikat pernah menulis sebuah puisi yang sangat menyentuh hati saya. Judulnya “The Road Not Taken” (1916). Artinya kurang lebih kebahagiaan kala memilih jalan yang jarang dipilih orang.
“Aku akan mengatakan ini sambil menghela nafas
di suatu tempat berabad-abad
Dua jalan di dalam hutan, dan aku—
aku memilih jalan yang jarang dilalui,
Dan hal itu telah membuat semuanya berbeda.”
Menulis atau menekuni kegiatan menulis di Indonesia kiranya adalah menyusuri jalan sunyi yang jarang dilalui orang. Tidak banyak orang yang menangguk keuntungan materi secara signifikan dari menulis, baik sebagai penulis purnawaktu maupun paruhwaktu.
Inilah 3 Cara Membantu Penulis Indonesia
Menyadari betapa “gilanya” situasi perbukuan nasional, mari kita menjadi superhero atau pahlawan super bagi penulis buku di Indonesia:
Pertama, selalu membeli karya asli
Superhero selalu membeli karya asli. Membeli karya asli adalah penghargaan terbaik yang bisa kita berikan pada para penulis di Indonesia ini. Hindari membeli buku bajakan atau menyebarkan utas (link) buku bajakan.
Kedua, hindari meminta buku gratis
Superhero tidak tega minta buku gratis. Usahakan membeli buku hasil karya penulis, juga mereka yang kita kenal dekat. Saya dulu selalu meminta, “Minta dong satu buku gratisan untukku!”
Sekarang saya mengubah pertanyaan saya jadi:
“Wah, selamat atas terbitnya buku barumu. Aku mau beli!”
Meskipun pada akhirnya teman saya si penulis itu dengan tulus memberi buku gratis pada saya, setidaknya saya sudah membuatnya merasa dihargai.
Tiga, tulislah komentar dan resensi buku
Setelah membeli dan membaca buku, jangan lupa menulis komentar dan resensi buku. Komentar bisa kita tayangkan di media sosial kita. Resensi bisa kita tulis di blog pribadi atau kita kirim ke media daring.
Berikan penilaian jujur atas buku yang baru saja kita baca. Tentu saja kita perlu menulis komentar dan resensi yang berimbang dan inspiratif.
Kritik perlu kita kemas dengan santun dan konstruktif agar penulis dan calon penulis mendapat masukan berharga.
Akhirulkalam
Duhai rakyat Indonesia Raya, menulis buku itu ibarat rindu. Berat. Mungkin kalian tidak akan kuat.
Hargailah “kegilaan” para penulis (buku) di Indonesia. Mereka sudah cukup “gila” karena dibiarkan merana oleh sistem yang kurang berpihak dan oleh ambyarnya selera baca masyarakat korban lingkaran setan rendahnya literasi Indonesia.
Salam literasi. Salam hormat untuk para penulis Indonesia. Anggitlah terus tulisan bermutu untuk melawan kebodohan. Mari menjadi pahlawan super bagi penulis buku di negeri ini.
Ruang Berbagi untuk Inspirasianakita.com
Facebook Comments