Paus Fransiskus, Sang Jembatan

Bobby Steven MSF

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia menjadi catatan sejarah baru dalam kerangka relasi diplomatik Vatikan dan Indonesia. Vatikan adalah salah satu negara yang segera menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.

Lebih dari urusan diplomatik, silaturahmi Paus Fransiskus sebagai pimpinan Gereja Katolik ritus Romawi ke Indonesia menjadi jembatan persaudaraan global. Paus yang menggembalakan 1,376 miliar orang Katolik sedunia mendatangi Indonesia, negeri dengan 238 juta penduduk Islam (data 2021).

Paus Fransiskus adalah paus pertama non-Eropa sejak Paus asal Suriah, Paus Gregorius III (731-741). Nama asli beliau adalah Jorge Mario Bergoglio. Ia lahir di Buenos Aires pada 17 Desember 1936 sebagai putra dari imigran Italia. Sejarah hidup Paus Fransiskus sendiri sudah menjadi jembatan antara Eropa dan non-Eropa.

Menariknya, Paus yang bergelar pontifex maximus memang bermakna sebagai pembangun jembatan yang hebat. Gelar ini hendak menandaskan peran seorang Paus sebagai jembatan rohani antara kehendak surgawi dan realitas duniawi. Paus menerjemahkan kehendak ilahi dalam penjelasan yang mudah dipahami orang masa kini.

Persaudaraan universal
Ketika terpilih, Bergoglio memilih nama Fransiskus dari Assisi sebagai nama kepausannya. Tampaknya, Paus Fransiskus ingin menghadirkan kembali semangat kesederhanaan dan persaudaraan universal Santo Fransiskus dari Assisi, tokoh abad kedua belas. Dalam hidupnya, Fransiskus Assisi mencintai kaum miskin dan berdialog dengan siapa saja.


Salah satu peristiwa penting dalam hidup Fransiskus Asisi adalah perjumpaannya dengan Sultan Mesir yang beragama Islam, Sultan Al-Kamil. Dikisahkan, delapan abad lalu, Fransiskus nekat mengunjungi Damietta, Mesir di tengah Perang Salib (Historia Orientalis, 1221).

Terkesan oleh sosok Fransiskus yang bersahaja dan datang tanpa senjata, Sultan Al-Kamil meminta sahabat barunya itu untuk berdoa agar ia semakin dekat dengan Tuhan. Kedua tokoh besar agama berbeda itu menumbuhkan semangat persaudaraan (M. Calabria, 2019).

Paus Fransiskus yang merupakan Paus Gereja Katolik ke-266 ini meneruskan semangat dialog persaudaraan universal yang dirintis Santo Fransiskus Assisi. Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar menandatangani Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Hidup Bersama (Dokumen Abu Dhabi) Februari 2019 lalu.

Dalam kunjungan di Indonesia, Paus Fransiskus berjumpa dengan tokoh-tokoh lintas agama dan kepercayaan. Kamis, 5 September 2024 nanti, Paus akan mengadakan pertemuan antar-agama di Masjid Istiqlal. Masjid ikonik ini bersebelahan dan terhubung dengan Gereja Katedral Jakarta.

Sejarah Masjid Istiqlal juga memuat unsur toleransi kebangsaan. Friedrich Silaban, seorang penganut Kristen Protestan dipilih oleh Presiden Soekarno sebagai pemenang sayembara arsitek Masjid Istiqlal pada tahun 1955.

Menyitir Hans Kung, teolog Swiss, upaya dialog antariman adalah sebuah keniscayaan untuk perdamaian dunia. Kung menulis bahwa tidak ada kedamaian dunia tanpa kerukunan antaragama. Tidak ada kerukunan antaragama tanpa adanya dialog antaragama. Tidak ada dialog antaragama tanpa menyelami fondasi agama-agama (Joko Lelono, 2024).

Peduli wong cilik
Semasa menjadi Uskup Agung Buenos Aires, Paus Fransiskus tetap menjadi seorang pastor sederhana yang sangat dicintai umatnya. Ia senang menggunakan kereta api bawah tanah dan bus umum. Fransiskus sangat peduli wong cilik, tanpa memandang agamanya.

Paus membasuh kaki narapidana dari aneka agama sebagai wujud pelayanan pada kaum miskin. Ia juga membantu para imigran muslim yang menjadi korban perdagangan manusia lintas benua di Lampedusa, Italia selatan. Paus Fransiskus juga kerap mengadakan kunjungan dadakan ke kantong-kantong pengungsian.

Semoga kunjungan Paus Fransiskus menjadi inspirasi kepedulian pada wong cilik yang tertindas di sekitar kita. Yang dilakukan Paus Fransiskus bukanlah sesuatu yang spektakuler. Sejatinya, ia hanya mengembalikan cara bertindak yang semestinya dilakukan siapa saja.

Menyitir Dirgaprimawan dkk dalam buku Mereka Berharga di Mata-Ku, Paus Fransiskus menawarkan logika alternatif dalam memandang martabat setiap manusia. Karena itu, kita menyaksikan bagaimana Paus mendorong perjumpaan langsung dengan sesama dari segala latar belakang.

Semangat pelayanan tulus Paus Fransiskus hendaknya menjadi pendorong bagi para pejabat dan abdi negara. Kita disadarkan bahwa menjadi pemimpin berarti menjadi pelayan bagi sesama manusia. Siapa saja yang berkehendak baik kita jadikan sahabat dan saudara. Semoga!

Bobby Steven MSF
Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma

Facebook Comments