Sampah menjadi masalah. Kita berjibaku dengan problematika sampah yang seolah menjadi enigma tak terpecahkan.
Salah satu akar persoalan sampah ialah sikap tidak peduli warga. Dalam hidup bermasyarakat, ada sindrom Not In My Backyard atau NIMBY yang terjadi saat menghadapi limbah dan sampah. NIMBY berarti sikap boleh buang sampah, asal bukan di rumah dan tanahku.
Sindrom NIMBY ini tampak nyata dalam perilaku sebagian dari kita yang seenaknya membuang sampah secara sembarangan. Kita melihat tumpukan sampah di sejumlah tempat di Kota Yogyakarta yang merupakan ulah oknum tak bertanggung jawab.
Benar bahwa hingga kini pemerintah masih kesulitan menyediakan TPST yang berdampak pada pengangkutan sampah. Akan tetapi, hal ini tidak lantas membenarkan perilaku serampangan dalam membuang sampah di sungai, jembatan, dan ruang publik.
Ajaran setiap agama dan kepercayaan menjunjung tinggi sikap peduli pada sesama insan dan lingkungan. Membuang sampah sembarangan berarti berlaku jahat pada sesama manusia dan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan “kebersihan adalah sebagian dari iman” janganlah kita lupakan.
Sampahku Urusanku
Akar masalah lain dalam tata kelola sampah adalah perbaikan paradigma berpikir setiap warga. Sampah selama ini sering dianggap sebagai barang tak berharga yang harus segera dilenyapkan dari pandangan. Sampah dipandang sebagai “bukan urusanku” lagi.
Padahal, sampahku adalah juga urusanku. Sampahku adalah tanggung jawabku. Aku menghasilkan sampah, maka aku harus mengelola sampahku agar tidak menjadi bencana, namun menjadi berkah.
Setiap pribadi, keluarga, dan satuan kemasyarakatan seharusnya mengelola sampah dari tingkat terbawah. Tidaklah tepat melempar tanggung jawab sepenuhnya pada pemerintah. Warga juga ikut andil dalam memecahkan masalah sampah.
Kita perlu belajar dari masyarakat negara-negara maju yang rajin memilah sampah dari rumah, kantor, sekolah, dan tempat ibadah. Idealnya di tingkat kampung dan perumahan, ada bank sampah. Seandainya belum ada, bukankah sampah terpilah itu sendiri sudah menjadi berkah?
Sampah terpilah bisa kita gunakan ulang. Bisa juga kita berikan kepada para pemulung atau tukang jual rongsokan. Sungguh elok bersedekah juga dengan sampah terpilah dan terpilih.
Penanaman paradigma berpikir “sampah menjadi berkah” seharusnya terjadi dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, dan rumah ibadah.
Kita bersyukur bahwa banyak insan dan paguyuban peduli sampah di sekitar kita.
Ada pula inovasi teknologi pengolahan sampah plastik menjadi batako dan bahan bakar kendaraan. Selain itu, cukup banyak sekolah, universitas, dan lembaga kemasyarakatan serta keagamaan yang peduli isu lingkungan hidup dengan aksi nyata.
Sejatinya, semangat handarbeni atau rasa ikut memiliki telah cukup mengakar dalam sanubari warga. Kota dan provinsi kita adalah rumah kita bersama. Jika keluhuran budi ini kita terapkan, kita akan merasa sangat malu saat sembarangan membuang sampah. Ruang publik itu bukan sesuatu di luar rumahku atau Not In My Backyard. Ruang publik adalah tanggung jawab kita.
Bobby St.
Facebook Comments