Ada fakta menarik jelang Pemilu 2024. Tiga pasang (bakal) calon presiden dan wakil presiden semuanya laki-laki. Lagi-lagi, kita akan memercayakan masa depan pembangunan bangsa kepada pemimpin pria.
Meski gerakan pemberdayaan perempuan dalam politik terus meningkat, keterwakilan memadai wanita dalam politik masih saja sulit digapai. Sharon Bessels (2010) menyebut, kepemimpinan partai yang didominasi para pria dan preferensi mereka memilih kandidat pria menjadi penyebab rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia.
Tren dominasi pria dalam kancah politik global adalah fakta yang sulit dimungkiri. Di satu sisi, tren ini mencemaskan karena kurang memberi ruang bagi politisi puan. Di sisi lain, cukup banyak pemimpin pria justru gagal menjalankan jabatannya dengan hati kebapaan. Padahal, menjadi insan berhati kebapaan adalah panggilan jiwa setiap pria, apalagi yang menjadi pemimpin.
Kita akrab dengan istilah founding fathers bagi para perintis kelahiran bangsa. Tentu istilah ini tidak ingin meminggirkan peran kaum wanita. Pada dirinya sendiri, founding fathers justru menekankan pentingnya peran pemimpin berhati kebapaan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam aneka tradisi keagamaan pun, Yang Ilahi sering dipahami sebagai sosok bapak. Tentunya Sang Sumber Kehidupan adalah misteri tak terselami yang coba kita bahasakan dengan kategori manusiawi. Dalam aras pemikiran aneka religi, Allah sebagai Bapa dimengerti sebagai sosok perkasa sekaligus pengayom.
Pentingnya menghayati nilai-nilai kebapaan dalam dunia profesional telah menjadi objek penelitian. Bernhard Stellner (2021) mengatakan, menjadi pemimpin dan bapak mengandaikan aneka keutamaan yang sama, antara lain: sikap menjaga, bertanggung jawab, mengantar pribadi lain mencapai otonominya, berimprovisasi, memahami, dan memotivasi.
Seorang pemimpin berhati kebapaan adalah pejabat yang mampu menjalankan kuasanya dengan tegas sekaligus menjadi pelindung bagi rakyatnya. Seperti bapak yang baik, setiap (calon) pemimpin semestinya bisa mempraktikkan keseimbangan antara kuasa dan kasih. Kuasa dan kasih ini berkelindan dalam kepemimpinan berhati kebapaan.
Bukankah kita selalu mendamba para pemimpin yang berwibawa sekaligus ramah pada jelata? Pejabat berhati kebapaan pasti tak ingin menjadi wong licik. Pemimpin sejati tahu batas menjalankan kuasa agar tindakannya tak mencederai perasaan wong cilik.
Krisis kebapaan
Paus Fransiskus menengarai, dunia kita yang terluka ini sedang mengalami krisis kebapaan. Seringkali mereka yang seharusnya memerankan sosok bapak sebagai pelindung dan pengasuh gagal menjalankannya. Akan tetapi, sejatinya kita perlu menghargai para dokter, perawat, penyapu jalan, abdi negara, dan banyak orang biasa yang menunjukkan kasih kebapaan di tengah dunia. Tanda nyata kasih kebapaan itu ialah semangat rela berkorban bagi sesama (Patris Corde, 2020).
Setahun sebelumnya, pada 2019, Paus Fransiskus dan Ahmad el-Tayeb, imam agung Al-Azhar, menandatangani dokumen Persaudaraan Manusia untuk Hidup Berdampingan. Dokumen Abu Dhabi ini menandaskan pentingnya sikap merawat dan melindungi (safeguarding). Pemimpin sejati selalu terbuka pada liyan yang berbeda. Inilah perwujudan kepemimpinan berhati kebapaan yang merangkul sesama insan dan alam ciptaan.
Sebuah Utopia?
Pemimpin berhati kebapaan tak memikirkan kepentingan sempit diri, keluarga, dan afiliasi politiknya. Ia justru siap berkorban diri alih-alih mengorbankan orang lain, apalagi rakyatnya. Ia mafhum, ketika menjalankan jabatan publiknya, ia harus menjadi bapak yang mengasuh dan mengasihi rakyat.
Presiden Soekarno memberi kita contoh pemimpin berhati kebapaan dalam aneka nukilan peristiwa. Soekarno giat memanggungkan nama-nama rakyat biasa sebagai jargon politik. Umpama, gerakan solidaritas rakyat marhaenisme terinspirasi dari Marhaen, petani dari Bandung Selatan. Gedung Sarinah mengabadikan sosok mbok pengasuh Soekarno.
Bersama Hatta yang kerap berseberangan pandangan, Soekarno merajut kolaborasi dalam peristiwa proklamasi. Sungguh, dwitunggal proklamator ini adalah teladan pemimpin berhati kebapaan.
Lebih dari sekadar menjadikan wong cilik sebagai jargon politik, pemimpin berhati kebapaan menyadari tanggung-jawab moralnya sebagai epitome amanat dan harapan rakyat. Sungguh beruntunglah negara yang memiliki pemimpin seperti itu!
Pemimpin berhati kebapaan adalah dambaan hati. Kita menantikan pemimpin yang tidak berasyik-masyuk dalam patronasi dan klientelisme politik penuh kepentingan tersembunyi. Kita merindukan pemimpin yang sungguh menjadi bapak bangsa yang tulus hati.
Apakah asa hadirnya pemimpin berhati kebapaan ini sebuah utopia semata di tanah air tercinta? Tidak juga. Jika para (calon) presiden dan wakil presiden mau, mereka bisa menjadi pemimpin berhati kebapaan. Jika rakyat sepakat, berilah mandat pada yang tepat, bukan yang sekilas tampak hebat.
Rasio dan hati nurani murni kita menjadi pembimbing dalam penentuan nasib bangsa melalui Pemilu nanti. Mari kita dukung para (calon) pemimpin yang sungguh berhati kebapaan. Bapak-bapak bangsa yang kepadanya kita bisa mempercayakan tanah air kita. Semoga!
Penulis: Bobby Steven MSF
Biarawan dan Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Alumnus Universitas Santo Thomas Aquinas Roma
Facebook Comments