Tahukah Anda bahwa ada seorang wanita Minangkabau yang menjadi pelopor jurnalisme perempuan di Indonesia? Bahkan sebenarnya, puan paramarta berhati mulia ini patut dimasukkan dalam peta jurnalisme global. Siapa dia? Dialah Rangkayo Rohana Kuddus, jurnalis perempuan pertama Indonesia.
Profil Rohana Kuddus
R.A. Kartini dan R. Dewi Sartika adalah nama-nama yang akrab bagi masyarakat Indonesia karena kepeloporan mereka dalam memajukan status perempuan melalui akses ke pendidikan. Apalagi R.A. Kartini dan Dewi Sartika telah cukup lama dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Sementara Rohana Kuddus, pahlawan wanita Minangkabau, baru mendapatkan penghargaan gelar pahlawan nasional pada tanggal 7 November 2019. Padahal, Rohana Kuddus telah berperan besar untuk kemajuan wanita dan jurnalisme tidak lama setelah R.A. Kartini dan Dewi Sartika. Bahkan, Rohana adalah pelopor jurnalisme perempuan di Indonesia.
Rohana Kuddus adalah aktivis organisasi perempuan yang lahir setelah pendirian Budi Utomo. Rohana Kuddus membuat Karadjinan Amai Satia (KAS) pada 1911 sebagai sarana untuk mengangkat derajat perempuan melalui pengajaran membaca dan menulis huruf Arab dan Latin, tata kelola rumah-tangga, serta pembuatan kerajinan tangan.
Persatuan (KAS) bertujuan untuk “Memajukan kaum wanita di Koto Gadang dalam berbagai aspek kehidupan guna mencapai kemuliaan yang seutuhnya bangsa”. Untuk mencapai tujuan tersebut, Vereeniging Karadjinan Amai Satia membuka sekolah bernama Sekolah Karadjinan Amai Satia. Vereeniging bermakna sebagai perkumpulan, sementara amai artinya ibu, dan satia bermakna setia dan penuh perhatian (Fitriyanti, 2013).
Karadjinan Amai Satia berkembang menjadi aneka lembaga pendidikan serta wirausaha untuk wanita. Pendirian Kerajinan Amai Satia adalah pencapaian yang signifikan dalam upaya menciptakan pusat kerajinan rumah tangga di Koto Gadang (Deliani, 2019).
Rohana adalah salah satu dari sedikit wanita yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk akses ke pendidikan, adalah tindakan sewenang-wenang dan harus ditentang. Rohana berjuang melawan ketidakadilan untuk kemajuan perempuan.
Dalam konteks jurnalis perempuan dunia dan Asia, kita bisa menempatkan Ruhana Kudus sebagai pionir jurnalisme dari, oleh, dan untuk perempuan di Indonesia.
Sejarah mencatat, pada tanggal 10 Juli 1912, Rohana Kuddus mendirikan surat kabar wanita bernama Soenting Melajoe. Redaksinya, mulai dari pemimpin redaksi, redaktur, dan penulis, semuanya wanita.
Surat kabar Soenting Melajoe terbit tiga kali seminggu. Rohana menjadi pemimpin redaksi hingga tahun 1920. Surat kabar ini menjadi wahana udar gagasan tentang politik, strategi kebangkitan wanita Indonesia, dan memuat ekspresi seni dalam bentuk prosa dan puisi (Baha’Uddin dkk., 2010).
Keberadaan surat kabar Soenting Melajoe ini menjadi tanda kemajuan intelektual di Minangkabau. Penerbitan surat kabar oleh kaum wanita ini menunjukkan perjuangan perempuan saat itu untuk mencapai kesetaraan dengan laki-laki dalam berpikir dan bertindak (Hanani, 2018).
Selain Soenting Melajoe, buah pena jurnalistik Rohana Kuddus juga terdapat di banyak surat kabar, seperti Saudara Hindia, Perempuan Bergerak, Radio, Cahaya Sumatera, Suara Koto Gadang, Mojopahit, Guntur Bergerak, dan Fajar Asia. Atas kiprahnya yang istimewa itu, pada 25 Agustus 1974, Rohana Kuddus dianugerahi gelar pionir jurnalis perempuan dari Sumatera Barat dan pionir pers oleh pemerintah nasional.
Rohana Kuddus telah pula merintis pers perempuan sebagai salah satu cikal-bakal demokrasi di Nusantara. Kebebasan berpendapat melalui tulisan media massa adalah salah satu pilar demokrasi. Pada masanya, Rohana Kudus selaku pionir pers perempuan telah membawa angin segar dalam pengarusutamaaan perempuan di ruang publik.
Hikmah perjuangan Rohana Kudus
Ada tiga hikmah perjuangan Rohana Kudus sebagai perintis pers dari kalangan kaum puan.
Pertama, wanita Indonesia mampu berkiprah dalam diskursus publik
Meskipun pada umumnya ada kecenderungan untuk mengutamakan pria, juga dalam dinia jurnalisme, Rohana Kuddus membuktikan bahwa wanita Indonesia mampu berkiprah dalam diskursus publik.
Jika R.A. Kartini bersuara melalui surat-suratnya dalam korespondensi dengan sahabat-sahabat Eropanya, Rohana bersuara melalui tulisan-tulisannya yang tajam dan inspiratif. Rohana pada masanya adalah penulis yang produktif mewarnai diskursus publik melalui anggitan di beragam surat kabar.
Kiprah Rohana dalam jurnalistik ini bahkan sulit ditandingi para jurnalis perempuan masa kini. Menurut data reutersinstitute, pada 2022 persentase wanita di posisi editorial teratas sangat bervariasi dari negara ke negara, mulai dari 7% di Brasil hingga 50% di Amerika Serikat.
Kedua, wanita Indonesia mampu menduduki jabatan penting dalam dunia pers
Kiprah Rohana sebagai pemimpin redaksi sebuah surat kabar juga sulit ditandingi, bahkan oleh jurnalis wanita zaman sekarang. Menurut reutersinstitute, pada 2022 hanya 21% dari 179 editor teratas di 240 surat kabar yang dicakup penelitian tersebut adalah wanita. Padahal faktanya, rata-rata 40% jurnalis di 12 wilayah adalah jurnalis wanita.
Para ahli telah menunjukkan, ada perbedaan dalam liputan berita antara ruang redaksi yang dijalankan oleh perempuan dibandingkan ruang redaksi yang dijalankan oleh laki-laki (Beam dan Di Cicco 2010; Byerly dan McGraw 2020; Shor et al. 2015). Jika dewan redaksi dikepalai wanita, topik-topik wanita tentu akan mendapatkan porsi yang lebih memadai.
Demikian pula, ulasan mengenai wanita akan lebih peka terhadap harapan dan keprihatinan kaum puan. Hal ini telah dibuktikan oleh Rohana Kuddus, yang selama menjabat pemimpin redaksi, mengutamakan isu pembelaan hak-hak dan pencerdasan kaum wanita.
Ketiga, wanita Indonesia patut diperhitungkan dalam kancah global
Rohana Kuddus membuktikan, wanita Indonesia patut diperhitungkan dalam kancah global karena nyatanya wanita Indonesia memiliki kemampuan unggul.
Rohana mampu menguasai bahasa-bahasa dengan sangat baik. Ia bahkan mampu menjembatani suara perempuan Minangkabau dengan dunia luar, termasuk negara-negara yang lebih maju.
Bobby Steven untuk Inspirasianakita.com
Facebook Comments