Teori Bumi Datar Bisa Jadi Motivasi Edukasi Sains dan Religi yang Sehat

Di tengah gempita Piala Dunia Qatar 2022, tema flat earth atau bumi datar tetap saja menarik perhatian publik, termasuk penggemar sepak bola. Menariknya, ada klub divisi empat Spanyol yang mendukung teori bumi datar. Namanya Flat Earth FC. Presiden Flat Earth FC, Javi Poves, juga bukan orang sembarangan. Javi pernah memperkuat Rayo Vallecano dan Sporting Gijon.

Menurut Alex Olshansky dkk dalam sebuah artikel di Journal of Media and Religion, Gerakan Bumi Datar tampaknya muncul dari kombinasi literalisme Alkitab (misalnya, kreasionisme Bumi muda, geosentrisme) dan teori konspirasi (misalnya, keyakinan bahwa NASA memalsukan pendaratan di bulan).

Wawancara dengan peserta Konferensi Bumi Datar Internasional pertama pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa mayoritas Penganut Bumi Datar baru mendukung gagasan Bumi Datar dalam beberapa tahun terakhir setelah menonton video di YouTube.

Sejatinya, ideologi Bumi Datar modern bermula di Inggris pada tahun 1849. Seorang fundamentalis agama bernama Samuel Rowbotham memperkenalkan apa yang dia juluki “Zetetic Astronomy”.

Rowbotham menganggap bahwa Bumi berada di pusat alam semesta.
Gagasan Rowbotham ini kemudian menjadi topik bukunya Earth Not a Globe pada tahun 1873 (Schadewald, 1981). Rowbotham hanya berhasil mengumpulkan sedikit pengikut yang bergabung dalam “Masyarakat Zetetic Universal” pertama.

Para pendukung bumi datar seolah bangkit kembali ketika di California didirikan International Flat Earth Research Society of America pada tahun 1971. Organisasi ini akhirnya menjadi Flat Earth Society, yang diluncurkan kembali pada tahun 2004 dalam rupa forum diskusi internet dan kemudian peluncuran situs web pada bulan Oktober 2009.

Menurut Paolillo (2018), pada tahun 2011, penyebutan “Bumi datar” pertama kali muncul di YouTube, tetapi sebagian besar digunakan untuk menertawakan kekonyolan teori ini. Baru pada 2014 muncul video YouTube pertama yang berisi argumen pendukung Bumi datar. Hanya tiga tahun kemudian, gerakan Flat Earth di AS ini mampu menjadi tuan rumah sebuah konferensi internasional.

Menurut penelitian Oliver dan Wood (2014), kemunculan teori Bumi Datar dipicu antara lain oleh kegemaran orang akan aneka teori konspirasi yang marak di media sosial dan media baru seperti YouTube.

Lebih dari setengah populasi AS telah terbukti secara konsisten mendukung satu atau lebih teori konspirasi. Media baru, seperti YouTube, memfasilitasi dan mempercepat penyebarannya (Craft dkk., 2017).

Para penganut teori konspirasi ini umumnya memerlukan narasi palsu tentang peristiwa yang melibatkan banyak orang. Biasanya mereka menuduh para elit secara diam-diam bekerja sama atau berkonspirasi dalam meraih tujuan jahat atau kriminal (Bale, 2007) Bagi kebanyakan penganut teori Bumi Datar, elit politik, lembaga ilmiah, dan badan antariksa internasional bersekongkol untuk menipu publik dan menyembunyikan bentuk Bumi yang sebenarnya.

Alasan kedua mengapa muncul Teori Bumi Datar adalah mentalitas konspirasi.

Mentalitas Konspirasi berbeda dengan teori konspirasi. Mentalitas konspirasi (atau ide konspirasi) adalah pandangan dunia politik yang didominasi oleh emosi dan ketidakpercayaan yang tinggi terhadap orang-orang yang memiliki kekuasaan dan institusi pemerintah (Bruder dkk., 2013). Penelitian membuktikan, kaum bumi datar memiliki tingkat mentalitas konspirasi yang lebih tinggi dari rata-rata (Landrum & Olshansky, 2019b).

Sebagian penganut teori Bumi Datar juga menonton video konspirasi lainnya (misalnya, yang terkait dengan “hoaks” pendaratan di bulan, serangan terorisme 9/11, dan serangan bersenjata ke Sekolah Sandy Hook) di YouTube.

Haruskah kita menolak mentah-mentah teori Bumi Datar? Ataukah sebenarnya teori Bumi Datar ini bisa menjadi motivasi untuk mengadakan edukasi religi dan sains yang sehat?

Kiranya kita tidak perlu cemas berlebihan terhadap eksistensi para penganut teori Bumi Datar yang gencar mewartakan gagasan mereka di media sosial dan media baru. Justru keberadaan teori Bumi Datar ini bisa menantang dunia pendidikan keagamaan dan pendidikan intelektual Indonesia secara positif.

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk pemikir. Ungkapan Rene Descartes, cogito ergo sum atau “aku berpikir, maka aku ada” menjadi rangkuman kegelisahan manusia untuk berpikir tentang banyak hal.

Sangat wajar bahwa orang zaman dahulu berpikir bahwa bumi itu datar. Maklum saja, ekspedisi penjelajahan samudera dan benua belum terjadi. Bahkan sejumlah warga kekaisaran Romawi sempat berpikir bahwa yang dimaksud “dunia” hanyalah sejauh wilayah kekuasaan Romawi saja.

Adalah filosof Yunani abad keenam, Pythagoras, orang pertama yang berpendapat bahwa bumi itu bulat. Pada abad keempat SM, bumi yang berbentuk bulat diterima secara luas di antara orang-orang terpelajar.

Seberapa jauh penerimaan ini mungkin juga telah diyakini ke masyarakat umum yang secara formal tidak berpendidikan tidak dapat dipastikan. Aristoteles (384–322 SM) memberikan bukti tentang bentuk bumi yang bulat secara empiris sekitar tahun 330 SM. Dunia Hellenistik secara umum mengakui bahwa bumi berbentuk bulat.

Akan tetapi, diseminasi ilmu pengetahuan mengenai bumi itu bulat tetap saja mengalami kendala. Sikap skeptis juga telah lama menjadi ciri manusia. Meskipun telah dikatakan dalam forum akademik, teori bumi bulat tidak lantas disepakati orang di seluruh dunia.

Baru-baru ini, sepasang suami-istri asal Italia terdampar di sebuah pulau dalam upaya mereka membuktikan bahwa bumi itu datar. Mike Hughes, seorang penganut teori Bumi datar bahkan tewas dalam upayanya untuk pergi ke luar angkasa guna membuktikan bumi itu datar. Roket Hughes jatuh ke tanah tak lama setelah sempat mengudara di California pada Februari 2020 lalu.

Artinya, hingga kini pun ada orang-orang terdidik yang percaya pada teori bumi datar. Hal ini menandakan, perdebatan teori bumi datar dan bumi bulat masih hangat dibincangkan. Justru dalam diskusi ilmiah, kita bisa menilai apakah argumen-argumen dua kubu ini masuk akal atau tidak.

Tidak perlu secara represif dan secara membabi buta menihilkan para penganut bumi datar. Cukup jadikan saja mereka sebagai mitra diskusi ilmiah yang sehat.
Selain itu, kita juga perlu secara bijaksana memadukan diskusi ilmiah dengan diskusi tafsir keagamaan mengenai hakikat bumi ciptaan Tuhan Yang Mahaesa.

Agama dan sains tidak perlu dipertentangkan karena masing-masing memiliki andil tersendiri dalam sejarah kemanusiaan.

Dalam bahasa Latin, ada adagium fides quaerens intellectum. Adagium ini dicetuskan oleh Agustinus dari Hippo (354–430) dan kemudian ditegaskan Anselmus dari Canterbury (1033 – 1109).

Fides quarens intellectum berarti “iman mencari pengertian”. Secara kronologis, iman mendahului pemahaman, seperti ketika anak-anak kecil pertama kali mempercayai orang tuanya dan mempercayai apa yang mereka nyatakan, dan baru kemudian, ketika mereka dewasa, mereka ingin memeriksa dan memahami sendiri realitas.

Kita meyakini bahwa semesta yang kompleks ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kebaikan manusia dan segenap unsur semesta. Dalam kebesaran-Nya, Tuhan memberikan kita akal budi untuk memahami realitas semesta. Mendiskusikan secara ilmiah dan dengan kepala dingin adalah sarana terbaik untuk memahami perdebatan antara teori bumi bulat dan bumi datar. Semoga!
Oleh Ruang Berbagi untuk Inspirasianakita.com

Facebook Comments