“Kami, gadis-gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita, karena kami hanya boleh mempunyai satu Impian, dan itu adalah saat-saat kami dipaksa menikah hari ini atau esok dengan laki-laki yang dianggap patut oleh orangtua kami.” (Kutipan surat Kartini kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, 8-9 Agustus 1901)
Lebaran baru saja berlalu. Momen yang seharusnya membawa keceriaan karena bisa berkumpul dengan keluarga atau orang-orang terkasih tak jarang justru menjadi beban bagi sebagian orang. Pertanyaan kapan menikah, kapan punya anak, kapan nambah adik dan pertanyaan-pertanyaan ajaib lainnya meluncur dengan entengnya, tak peduli apakah yang ditanya merasa nyaman atau tidak.
Ketika kita mengungkapkan ketidaknyamanan atas pertanyaan itu, tak peduli apakah kita telah menyampaikannya dengan cara sesopan apa, kita akan dianggap baperan dan lemah mental. Saya tidak setuju dengan tuduhan itu karena bukan kami yang baperan atau lemah mental. Andalah yang minim empati atau kurang menguasai seni berkomunikasi sehingga hanya bisa merecoki kehidupan pribadi orang lain *evil smile*.
Berada di tengah masyarakat yang mengglorifikasi pernikahan dan relasi romantis membuat hidup perempuan tidak mudah. Sejak kecil perempuan dituntut untuk harus bisa mengerjakan banyak hal (baca: pekerjaan domestik). Tujuannya? Ya, apalagi kalau bukan untuk mempersiapkan diri agar kelak bisa menjadi istri dan ibu yang baik. Jarang anak perempuan diajarkan bagaimana cara menjadi manusia yang berdaya dan bermanfaat bagi sesama dan semesta. Pun masih jarang anak laki-laki diajarkan bagaimana cara menghormati dan bekerja sama dengan perempuan berdaya untuk mewujudkan hal-hal baik.
Di abad ke-19 dan awal abad ke-20, pemikiran Kartini tentang pendidikan perempuan adalah sesuatu yang aneh, jika tidak ingin dikatakan menyimpang. Dalam sejarah perkembangan Islam, Nabi Muhammad Saw, yang salah satu misi dakwahnya adalah mengangkat derajat kaum perempuan agar perempuan tidak lagi dianggap sebagai objek seksual dan makhluk kelas dua, juga menuai pertentangan hebat dari masyarakat suku Quraisy. Women’s Liberation Movement (WLM) di negara-negara Barat pada tahun 1960-an juga merupakan respon yang lahir dari pengekangan terhadap perempuan, dalam hal akses ekonomi, politik dan sosial. Jadi, mengapa perempuan berdaya dianggap menakutkan, sehingga upaya-upaya untuk mewujudkan hal tersebut dirasa perlu digagalkan dengan berbagai cara?
Sebagian besar orang tentu tidak asing dengan narasi yang menyamakan perempuan cerdas dengan pembangkang. Atau petuah klasik yang sering didengar perempuan bahwa ia tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, tidak boleh terlalu cerdas, tidak boleh terlalu mandiri, tidak boleh berambisi, karena nanti laki-laki akan minder untuk mendekati. Bahkan, sebagian narasi dengan serampangan menggunakan dalil agama untuk meminggirkan perempuan dari ruang publik.
Maskulinitas yang rapuh adalah kunci untuk menyuburkan ketakutan pada perempuan berdaya.
Perempuan cerdas dan kritis sejatinya bukan pembangkang. Ia hanya tidak bisa dipaksa untuk bersikap “iya-iya aja” karena memutuskan sesuatu, apalagi sebuah keputusan yang besar, perlu pertimbangan rasional di baliknya dan dampak yang kira-kira akan timbul di kemudian hari. Mereka bukanlah perempuan yang berpikir pendek untuk saat ini saja, tapi juga jangka menengah dan panjang. Makanya, ketika suatu keputusan dirasa tidak masuk akal atau merugikan banyak orang, perempuan cerdas dan kritis akan bersuara untuk mengingatkan. Sayangnya, tidak semua orang suka dikritik.
Akhirnya perempuan ditakut-takuti dan dibuat selalu merasa bersalah dengan berbagai cara, baik cara halus maupun kasar. Seolah-olah perempuan lajang yang lebih memilih fokus mengejar pendidikan dan karir ketimbang menikah itu tidak normal. Seorang ibu yang memilih tetap bekerja ketimbang menjadi ibu rumah tangga itu egois. Menggunakan jasa asisten rumah tangga dan baby sitter untuk membantu mengasuh bayi dianggap ibu yang lemah dan manja. Jadi, siapa bilang perempuan selalu benar?
Hari Kartini seharusnya tidak hanya diisi dengan hal-hal yang seremonial, tapi juga menggali lagi warisan pemikiran Kartini tentang perempuan, pendidikan, kemanusiaan bahkan agama dan spiritualitas. Seiring tantangan zaman yang makin berat, dunia membutuhkan lebih banyak peran dan kontribusi perempuan dalam berbagai bidang. Namun, sebelum itu, kita terlebih dulu harus memberikan ruang dan dukungan bagi perempuan-perempuan di sekitar kita agar mereka berani merangkul dan mewujudkan cita-citanya.
Selamat Hari Kartini.
Ditulis oleh Luna Septalisa untuk Inspirasiana
Facebook Comments