Kala Media Massa Menepikan Atlet Sepak Bola Putri Papua

 

Dua Srikandi Atlet Sepak Bola dari Papua, Marsela Yuliana Alwi dan Remini Chere Rumbewas

 

Salah satu fakta yang disorot pengamat dan penggemar sepak bola dari catatan buruk timnas putri kita saat ini adalah minimnya pemain putri asal Papua di timnas Indonesia meskipun tim putri Papua baru saja menjuarai PON XX pada Oktober 2021.

Dari 23 pemain timnas putri Indonesia, hanya ada dua pesepakbola putri Papua. Mereka adalah striker Marsela Yuliana Awi dan bek Remini Chere Rumbewas. Pemain timnas wanita rata-rata berasal dari Jawa dan Sumatera.

Marsela Yuliana dan Remina Rumbewas adalah tulang punggung tim putri Papua yang berhasil membawa Papua untuk pertama kalinya menjadi juara sepak bola putri PON. Mereka berstatus pemain Asprov Papua, bukan pemain klub wanita profesional.

Maklum saja, sangat sulit menemukan klub dan kompetisi sepak bola putri profesional di Papua dan Papua Barat.

Dalam Liga Putri 2019, Papua diwakili satu tim saja, yaitu Galanita Persipura. Menariknya, Galanita Persipura berhasil menjuarai grup B Liga Putri 2019 dalam grup yang dihuni juga oleh Arema Putri, Bali United Women, Persebaya Putri, dan PSM Putri.

Galanita Persipura melaju ke semifinal menantang TIRA Persikabo Kartini. Sempat unggul 5-4 pada laga pertama, Galanita Persipura kalah 1-2 pada pertemuan kedua. Tragisnya, Galanita Persipura dinyatakan bersalah oleh PSSI lantaran menolak melanjutkan laga ketika memasuki babak adu penalti. Galanita Persipura menolak keputusan PSSI tentang penentuan babak semifinal dan final sehingga dinyatakan kalah 0-3 dari TIRA Persikabo Kartini.

Bias berita media massa mengenai pesepak bola putri

Liputan sebagian besar media massa Indonesia pun berfokus pada pesepak bola wanita dengan kriteria kecantikan dan daya pengaruh media sosial yang bias. Sangat jarang media massa meliput pesepakbola wanita asal Papua dan Papua Barat.

Mayoritas media massa Indonesia cenderung mengaitkan pesepakbola wanita dengan kata “cantik” alih-alih “berprestasi” atau “berbakat”.

Misalnya, hasil tiga teratas pencarian Google dengan kata kunci “pemain sepak bola putri” pada 2/4/2022 menampilkan berita berjudul “5 Pemain Indonesia yang Cantik”; “3 Pesepak Bola Putri Cantik”; dan “5 Pemain Timnas Indonesia yang Cantik Jelita”.

Hasil pencarian serupa menghasilkan 19 artikel teratas dalam halaman pertama dan kedua. Menariknya, hanya ada dua nama atlet sepak bola putri yang muncul dalam judul 16 artikel teratas tersebut, yakni Zahra Musdalifah (3 judul) dan Shalika Aurelia (3 judul). Tidak ada satu pun nama atlet putri Papua.

Bisa ditebak, tidak ada satu pun pemain Papua dan Papua Barat dalam berita-berita tersebut. Kriteria kecantikan yang disematkan sebagian besar media massa kita adalah cantik itu berkulit putih dan berambut lurus.

Mengapa mayoritas media massa kita mengaitkan atlet wanita dengan kata cantik? Kiranya karena sebagian besar wartawan (olahraga) didominasi kaum pria dan sebagian media massa berusaha memuaskan hasrat pembaca (berita olahraga) yang sebagian besar adalah kaum pria. Menurut Who Makes the News Global Monitoring Project 2010, 76% pembaca berita adalah kaum pria.

Selain itu, Kriteria atlet putri yang menurut mayoritas media massa kita pantas semakin dipopulerkan adalah atlet putri yang telah memiliki banyak pengikut di Instagram.

Sebagai contoh, akun Instagram Zahra Musdalifah @zahmus12 memiliki 945 ribu pengikut dan Shalika Aurelia @shalika.aurelia  memiliki 37.8 ribu pengikut. Kedua atlet sepak bola putri inilah yang muncul dalam 19 artikel teratas pencarian Google karena sering diliput media massa kita yang juga gemar sekadar mengolah ulang konten Instagram mereka sebagai “berita”.

Bagaimana dengan gaung berita dan media sosial pesepak bola putri asal Papua? Akun Instagram Remini Rumbewas @remini_rumbewas diikuti 5.587 pengikut, sementara Marsela Yuliana Awi tidak terpantau menggunakan Instagram.

Berita mengenai kedua pemain asal Papua ini sangat jarang diulas media massa Indonesia. Hanya ada dua berita dengan judul Remini Rumbewas dalam dua halaman teratas pencarian Google untuk kata kunci “Remini Rumbewas”. Hanya satu judul berita dengan nama Marsela Yuliana Awi dalam dua halaman teratas pencarian Google dengan namanya.

Bisa disimpulkan, pesepak bola putri asal Papua selama ini ditepikan media massa Indonesia karena mereka tidak “memenuhi” kriteria kecantikan dan status influencer medsos nan bias tersebut. Diamati secara sekilas saja, ada korelasi antara status sebagai atlet wanita dengan jumlah pengikut Instagram banyak dan jumlah berita yang banyak.

Sederhananya, jika ingin banyak diliput media massa Indonesia, atlet wanita haruslah “cantik” (baca: putih dan berambut lurus), punya banyak pengikut medsos, dan mudah diliput karena punya konten medsos yang memadai untuk diolah sebagai “berita” oleh oknum jurnalis malas.

Mencari solusi

Timnas Putri Indonesia vs Australia

Sebenarnya, kehadiran banyak pesepak bola asal Papua yang berdampak positif di timnas putra bisa jadi acuan bagi PSSI dan media massa. Mengapa pesepak bola putri asal Papua selama ini kurang mendapat tempat di timnas dan media massa, meskipun sebenarnya mereka juga berbakat?

Menyadari hal ini, kiranya PSSI dan asosiasi media massa dan jurnalis perlu mengubah paradigma mengenai pesepak bola putri dari pelosok Nusantara.

Setiap pesepak bola putri yang berbakat, entah dari daerah mana, seharusnya patut dipromosikan di timnas dan dipopulerkan media massa.

PSSI dan para jurnalis kita perlu juga mengamati dan meliput geliat sepak bola putri di luar Indonesia bagian barat. Jangan hanya memantau atlet sepak bola putri yang sudah tenar di media sosial saja.

Jurnalis kita juga perlu berhenti mempraktikkan lazy journalism dengan hanya mengolah konten dari unggahan media sosial atlet putri yang sudah tenar. Banyak atlet putri berbakat, termasuk atlet asal Papua tidak dikenal karena mereka tidak memiliki media sosial dan jarang atau bahkan tidak pernah diwawancarai jurnalis.

Jika jurnalisme malas semacam ini terus dipelihara, kapan masyarakat Indonesia mengenal lebih dekat para atlet pelosok Indonesia yang berbakat, namun bukan termasuk golongan pemengaruh (influencer) cantik dengan kategori kecantikan yang bias?

Selain itu, perlu pula diupayakan penambahan jumlah jurnalis perempuan agar perpektif media massa Indonesia lebih adil gender. Hasil  riset  Aliansi  Jurnalis  Independen  mengenai  jurnalis   perempuan   di   media   nasional   2012 mendapati, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia hanya 1:3 atau 1:4 dibanding jurnalis  laki-laki.

Bukan hanya penambahan jumlah jurnalis perempuan, media massa secara umum juga perlu lebih memberi peluang bagi perempuan untuk menempati posisi teras sebagai pengambil keputusan. Faktanya, menurut Global Report on the Status of Women in the News Media 2011, kaum pria masih mendominasi posisi penting ebagai penentu kebijakan dan pucuk pimpinan manajemen media di tujuh kawasan dengan persentase masing-masing 74,1% dan 72,7%.

Ruang Berbagi untuk Inspirasianakita.com

Facebook Comments