Bahasa gaul tak ada matinya. Zaman kiwari, bahasa anak Jakarta Selatan jadi tren. Tengok saja aneka cuitan bertagar bahasa anak Jaksel. Umpama, “Yesterday tidur till isya, which is ga bisa tidur now.”
Bahasa anak Jaksel adalah contoh gejala campur kode (code-mixing). Campur kode adalah peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain dalam diskursus yang sama, demikian tulis Numan dan Carter (2001:275).
Payal Khullar (2018) menyimpulkan, campur kode disebabkan dua faktor: kontak dengan bahasa lain dan kedwibahasaan. Campur kode terjadi dalam pergaulan di dunia nyata dan maya.
Ada yang menganggap bahasa anak Jaksel keren. Ada pula yang menilainya sebagai gejala perusakan bahasa. Sejatinya, gejala campur kode ini telah berlangsung lama dalam sejarah Indonesia.
Campur kode bahkan menjelma menjadi bahasa-bahasa kreol. Bahasa kreol awalnya digunakan keturunan Afrika dan Eropa di Hindia Barat. Istilah bahasa kreol lantas digunakan untuk menamai bahasa hasil percampuran aneka bahasa dan menjadi bahasa kontak di lokasi tertentu.
Bahasa Javindo adalah salah satu bahasa kreol Hindia Belanda. Penuturnya keluarga Indo-Eurasia. Umumnya, sang ibu berbahasa Jawa dan sang ayah berbahasa Belanda. Tata bahasa Javindo mengikuti tata bahasa Jawa, sedangkan kosakata memuat pula bahasa Belanda, demikian pendapat Wim Willems (1994:141-143).
Miel de Gruiter yang lahir di Semarang adalah saksi hidup Javindo sebagai bahasa kontak. Ibunya yang hanya tahu tata bahasa Jawa menggunakan Javindo untuk berkomunikasi dengan ayahnya. Sang ibu lantas mengajarkan Javindo padanya sebagai bahasa kedua.
Miel de Gruiter berbahasa Belanda di rumah dan sekolah. Saat bermain di luar, ia berbahasa Javindo.
Ini contoh kalimat Javindo. “Lho, als sommen perkara ketjil, als jij snapnul, hier taq makenké” (“Lho, hitungan itu perkara kecil, kalau kami tidak mengerti, serahkan pada saya, sini saya buatkan.”)
Frasa taq makenké adalah campur kode Jawa-Belanda. Tak gawekke dalam bahasa Jawa berarti saya buatkan. Kata kerja bahasa Belanda maken dipadukan dengan tak dan sufiks Jawa –(a)ke.
Bahasa Petjo (Pecok atau Petjoh) adalah contoh lain bahasa kreol Hindia Belanda. Menurut Herman Giesbers (1995), nama bahasa Petjo dipopulerkan pengarang Tjalie Robinson (1911-1974).
Bahasa Petjo adalah bahasa pergaulan. Bahasa Petjo dituturkan keturunan Melayu-Belanda dan orang pribumi yang mahir berbahasa Belanda.
Ini contoh bahasa Petjo. “Water-nya op?” (Apa airnya masih ada?) “Nee nee, genoeg, nanti bisa ke-lekker-an.” (Tidak, sudah cukup, nanti bisa keenakan). Ke-lekker-an adalah kombinasi afiks Melayu, ke-an dan kata sifat bahasa Belanda, lekker.
Bahasa Javindo, Petjo, dan anak Jaksel sama-sama hasil perkawinan (atau ‘perselingkuhan’) aneka bahasa lokal dan asing dalam sejarah Nusantara. Bahasa Javindo dan Petjo adalah ‘nenek moyang’ bahasa anak Jaksel.
Andai Belanda masih berjaya di Batavia, mungkin anak Jaksel akan berkata, “What do you denken, this basically ambyar or mooi?” (Apa pendapatmu, ini ambyar atau indah?)
Duet bahasa Petjo dan bahasa anak Jaksel ternyata bisa petjah (keren)!
Oleh: Ruang Berbagi untuk inspirasianakita.com
Facebook Comments