Mengapa Perlu Menulis Fiksi dan Nonfiksi?

Menulis ibarat makan. Ada selera tertentu. Tidak bisa memaksakan diri harus makan penganan tertentu yang asing atau tidak disukai. Singkat kata, menulis juga harus bahagia.

Demikian halnya ketika seorang penulis memilih untuk jadi penulis fiksi dan atau nonfiksi. Tidak ada yang mengharuskannya untuk menulis fiksi dan nonfiksi. Bebas merdeka.

Saya memilih jalur yang mungkin diibaratkan oleh pemuisi Robert Frost sebagai jalan yang jarang dilewati orang (the less travelled road). Saya memilih menjadi penulis fiksi sekaligus nonfiksi.

Menurut hemat saya, seorang penulis perlu menulis fiksi dan nonfiksi. Mengapa demikian? Ada tiga alasan. 

Pertama, menulis fiksi dan nonfiksi memperluas kosakata

Ketika seseorang menulis fiksi dan nonfiksi sekaligus, biasanya dia membaca lebih banyak bacaan. Cerita pendek, puisi, pantun, artikel koran, buku, dan aneka ragam bacaan dia nikmati.

Perbendaharaan kosakata ketika kita melahap nyaris semua bacaan dengan bahagia kiranya lebih luas ketimbang kala kita fokus pada satu bidang saja. 

Saya sendiri mendapatkan perbendaharaan kosakata unik kala menikmati karya fiksi. Umpama: mudita, karuna, paramarta, dan renjana. 

Kedua, menulis fiksi dan nonfiksi melatih keterampilan berbahasa secara utuh

Dalam bahasa, ada unsur-unsur yang hanya bisa kita nikmati dan kuasai ketika kita menulis fiksi dan nonfiksi sekaligus. Keterampilan menganggit kalimat, frasa, dan judul dengan rima puitis, misalnya. 

Hal ini tampak, antara lain, dalam judul-judul karya saya yang rerata memuat “percikan” rima: Menggagas Kabin Sopir ala Eropa, Pencegah Kecelakaan Maut Terulang di Indonesia dan Sepotong Kue Ukraina untuk Serdadu Rusia.

Belum lagi soal majas dan diksi yang semakin berkelas dan bertaji kala kita mencintai fiksi dan nonfiksi.

Ketiga, menulis fiksi dan nonfiksi menyeimbangkan otak dan hati

Menulis fiksi dan nonfiksi menyeimbangkan otak dan hati – janoon028/freepix
Kiranya menulis fiksi dan nonfiksi sekaligus menyeimbangkan otak dan hati. Otak merujuk pada kecerdasan intelektual sementara hati merujuk pada kecerdasan emosional dan spiritual.

Saat suntuk dan “terbatas” untuk mengungkapkan sesuatu dalam tulisan nonfiksi, misalnya artikel opini, saya mendapatkan kebebasan kala merangkai puisi atau cerpen.

Karya fiksi memang sangat lentur. Ia bisa memuat kritik sosial paling tajam dalam balutan aksara penuh kelembutan. 

Lantas, bagaimana cara menulis fiksi dan nonfiksi sekaligus?

Tidak semua orang memiliki cukup bakat untuk menjadi penulis fiksi dan nonfiksi yang sama-sama baik. Saya pun termasuk dalam golongan itu. Bakat saya biasa saja. Mungkin malah tidak ada. 

Yang membedakan adalah usaha. Penulis hebat tidak hanya dilahirkan, tetapi dihasilkan melalui perjuangan. Jika ingin juga menulis fiksi, ya banyak-banyak membaca karya fiksi berkualitas dan mulai menerapkan ATM: amati, tiru, modifikasi.

Sama halnya, jika ingin menjadi pula penulis nonfiksi banyak-banyaklah membaca dan mulai menerapkan ATM. Hindari plagiat, jadilah diri sendiri yang asli dan penuh semangat!

Biasanya, kita mudah menghakimi diri sendiri dengan mengatakan: “Wah, saya tidak berbakat menulis”. Percayalah, orang berbakat bisa kalah dari orang yang berusaha kuat. 

Ruang Berbagi untuk Inspirasianakita.com

Facebook Comments