Rentenir: Membantu atau Membunuh?

Rentenir: Membantu atau Membunuh?


Masih ingat ada kisah Si Dul anak Sekolahan? Salah satu episodenya pernah menayangkan si emak yang membayar cicilan harian kredit panci yang dihutangnya.

Mas Karyo – yang akhirnya jadi menantunya – punya bisnis serupa. Meski akhirnya yang dikreditkannya adalah batik berupa kain dan baju. Kala itu, tukang kredit masih lumrah mendatangi rumah-rumah untuk menawarkan barang yang dibayar dengan cicilan.

Makin kedepan, pinjol – pinjaman online – yang telah memakan banyak korban menjadi demikian terkenal. Pinjaman yang tidak seberapa menjadi berlipat-lipat jumlahnya apalagi jika bunga tak bisa dibayarkan. Membengkak tak karuan.
Rupanya pinjam meminjam, kredit – berkredit ini masih banyak di masyarakat. Bentuknya mungkin tak lagi hutang panci. Jauh lebih canggih. Namun yang pasti, pinjaman dari rentenir sangat mencekik leher.

Lelah setelah jalan mengelilingi kompleks perumahan, aku duduk di dekat pasar yang tak jauh dari gerbang kompleks. Bangku kayu panjang yang aku duduki itu milik penjual bensin eceran dalam botol. Disebelahnya penjual gorengan sibuk membalik-balik bakwan sayuran yang sedang dimasaknya dalam penggorengan besar.

Tak jauh dari gerobak gorengan, penjual pernak-pernik sedang mengatur barang dagangannya. Dia menjual bermacam ikat dan jepit rambut dan mainan anak-anak. Jika jam istirahat atau saat sekolah bubar, anak taman kanak-kanak dan sekolah dasar yang tak jauh juga dari pasar itu, pasti mengerumuni gerobaknya. Agak hafal aku dengan ritual anak-anak itu.

Penjual bensinpun kecipratan rejeki. Ibu-ibu muda yang menjemput anak-anaknya, seringkali menambah isi tangki motornya dari bensin di situ.

Sambil mengistirahatkan kaki, aku tertarik mengamati kegiatan orang yang lalu-lalang. Beberapa menit setelah aku duduk, ada sebuah motor berhenti mungkin satu meter dari posisi dudukku. Bapak penjual bensin itu menghampiri dan mengulurkan sejumlah uang kepadanya.

Sedetik kemudian motor dan pengendaranya berlalu. Motor itu berhenti juga di penjual pernak-pernik. Setelah menerima uang dari penjual pernak-pernik itu, motorpun berlalu. Ingin tahuku muncul tiba-tiba.

Esoknya aku melakukan hal yang sama. Kira-kira di waktu yang sama, pengendara motor itu pun muncul lagi. Setelah mendapat uang dari kedua pedagang itu, motor itu melesat pergi.

“O, itu uang cicilan, bu.” Jelas penjual bensin yang bernama pak Unu. Dia meminjam uang sebesar lima ratus ribu rupiah selama dua bulan. Cicilannya setiap hari, termasuk hari Sabtu dan Minggu sebesar lima belas ribu rupiah. Otakku langsung menghitung dengan cepat.

Jika 1 bulan rata-rata 30 hari, maka total pengembaliannya sebesar Rp450.000 perbulan. Dua bulan menjadi Rp900.000,-. Ini berarti ada bunga yang harus dibayar sebesar Rp400.000,- untuk 2 bulan. Bunganya sekitar 80 persen dari pinjamannya. Nilai yang fantastis.

Pak Unu bilang, dia bisa menjual antara 10 sampai 20 botol bensin yang berisi 1 liter per hari. Anggap saja rata-rata penjualan 15 botol per hari. Modal yang dibutuhkannya untuk membeli Pertalite sebesar Rp7.650 per liter, adalah sebesar Rp114.750,-.

Harga jual Rp10.000 per liter. Hasil penjualan per hari sebesar Rp150.000,-. Terdapat keuntungan sebesar Rp35.250.

Dari jumlah ini, Rp15.000 dipotong untuk membayar cicilan. Tersisa Rp20.250 yang bisa dibawa pak Unu pulang. Tentu saja jumlah ini tidak cukup untuk memberi makan anak dan istrinya. Untuk mengatasinya, terpaksa modal yang akan digunakannya untuk membeli bensin hari berikutnya dikurangi.

Bila akan membawa uang sebesar Rp30.000,-, keesokan harinya pak Unu hanya akan mampu memperoleh kurang dari 14 liter bensin untuk dijual. Apabila ada kebutuhan lain yang mendesak, modal membeli bensin akan terkurangi lagi.

Pola yang sama akan berulang terus setiap hari. Dengan begitu, modal awal tergerus terus untuk kebutuhan hidup. Tidak tahu berapa lama modal ini ini bisa bertahan. Menjelang dua bulan, Pak Unu menjelaskan hutangnya bisa lunas.

Sayangnya, dia harus meminjam lagi, membuat hutang baru sebagai modal usahanya lagi. Lingkaran hutangnya dimulai lagi. Cengkeraman sang rentenir susah dilepaskan. Pak Unu pasrah. Asal masih bisa makan saja cukuplah.

Bukan tak bisa berhitung. Keadaan yang memaksa yang membuat lingkaran setan ini tak pernah putus. Tak pinjam berarti tak punya usaha. Tak punya usaha berarti tak makan.

Membayangkan sang rentenir memperoleh uang dengan mudah, agak geram hatiku. Betapa enaknya setiap hari datang menarik setoran. Setoran yang adalah hasil jerih lelah para pedagang kecil. Tanpa turun dari motornya, dia memperoleh pandapatan yang hampir sama besarnya dengan jumlah yang dipinjamkannya. Tak bisa juga disalahkan si rentenir ini.

Dia bisa berjaya, karena pangsa pasarnya ada. Pangsa pasar yang terbentuk karena kepepet dan butuh.


Apakah ini merugikan? Menurut pak Unu dan pedagang kecil lainnya, mungkin saja tidak. Mereka sudah pernah mengajukan pinjaman modal kerja di bank plat merah yang ada di area pasar. Pusing mereka karena disodori berlembar-lembar dokumen untuk diisi.

“Pegang ballpoint saja saya sudah lupa, bu.” Sahutnya saat kutanya mengapa tidak meminjam di bank. Syaratnya juga banyak. Jaminan pun tak punya.

Paling cepat dan mudah memang meminjam dari rentenir ini. Tak harus mengisi dokumen apapun. Tidak diperlukan surat macam-macam dan uangnya langsung cair. Hanya kepercayaan saja yang dipegang. Resikonya adalah harus membayar bunga yang lebih tinggi.

Melihat kenyataan yang dialami pak Unu, aku mengucap syukur untuk segala kebaikan Tuhan dalam kehidupanku. Sambil berjalan pulang, merenung dan berpikir apa yang bisa dilakukan untuk membantu orang-orang seperti pak Unu ini. Jumlahnya tidak sedikit. Tak bisa sendiri memang.

Perlu bergandeng tangan dengan banyak orang yang masih punya keperdulian agar keluar dari pusaran yang dibuat rentenir.

Siapa tahu pula akan ada perusahaan yang tergerak memberikan bantuan CSR – Corporate Social Responsibility – nya untuk menjadikan pedagang-pedagang ini sebagai binaannya.

Campur tangan pemerintah juga diperlukan untuk membuat rakyatnya sejahtera. Tak usah diberi ikan. Berilah kail untuk bisa melanjutkan hidup dan usaha.

Salam
Winni Soewarno

Facebook Comments