8 Kiat Kurangi Dampak Negatif Perceraian pada Anak

Kita masih ingat kisah viral “Layangan Putus”. Kisah yang awalnya diunggah di Facebook oleh akun Mommy ASF itu bertutur tentang curahan hati seorang istri yang bercerai dari suaminya.

Penulis “Layangan Putus” pada intinya mengisahkan duka yang ia derita bersama empat anaknya akibat perceraian. Kisah “Layangan Putus”, jika benar adalah kisah nyata, hanyalah satu contoh dari sekian banyak perceraian di negara kita.

Laman resmi Mahkamah Agung (MA) mencatat, pada tahun 2018 ada 419.268 pasangan yang bercerai. Inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 orang, sementara dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang.

Data MA itu hanya mencakup perceraian yang dilakukan pasangan muslim. Artinya, data itu tidak mencakup perceraian pasangan nonmuslim di pengadilan umum.

Dampak Negatif Perceraian pada Anak
Aneka penelitian ilmiah membuktikan dampak buruk perceraian pada anak. Patut disadari, setiap anak menanggapi perceraian orang tua dengan cara berbeda-beda. Ada anak korban perceraian yang kuat secara psikologis dan mampu tetap berprestasi dan tumbuh dengan baik, namun ada pula yang sebaliknya.

Penelitian AN Marie Astone dan Sara S. McLanahan dalam American Sociological Review 56 (1991) menyimpulkan, anak-anak dari keluarga yang bercerai mengalami kesulitan saat bersekolah. Umumnya mereka mengalami masalah kenakalan di sekolah. Nilai akademisnya menurun. Anak-anak ini bahkan kesulitan untuk menuntaskan pendidikan hingga sekolah menengah atas.

Sementara itu, Cynthia Harper dan Sara McLanahan dalam artikel bertajuk “Father Absence and Youth Incarceration,” dalam Journal of Research on Adolescence 14 (2004) menyimpulkan, anak-anak yang orang tuanya bercerai lebih mungkin melakukan kejahatan sehingga akhirnya dipenjara.

Terkait dengan kemiskinan, Sara McLanahan and Gary Sandefur, dalam “Growing Up with a Single Parent: What Hurts, What Helps” (Cambridge: Harvard University Press, 1994) mencatat, karena pendapatan orang tua yang mengasuh turun drastis setelah perceraian, anak-anak korban perceraian hampir lima kali lebih mungkin untuk hidup dalam kemiskinan daripada anak-anak dengan orang tua yang harmonis.

Kisah “Layangan Putus” menjadi contoh nyata bagaimana anak-anak harus ikut menderita karena si ibu menjadi satu-satunya penyumbang pendapatan keluarga. Dalam kisah itu, si ayah tak lagi memberikan bantuan keuangan pada mantan istri dan anak-anaknya.

Ahli lain, Robert Flewelling dan Karl E. Bauman dalam “Family Structure as a Predictor of Initial Substance Use and Sexual Intercourse in Early Adolescence,” dalam Journal of Marriage and the Family 52 (1990) mencatat, remaja dari keluarga yang bercerai jauh lebih mungkin terlibat dalam penggunaan narkoba dan alkohol, serta melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dibandingkan dengan remaja yang berasal dari keluarga utuh.

8 Kiat Cegah Dampak Negatif Perceraian pada Anak-Anak
Membaca dampak-dampak negatif perceraian di atas, orang tua yang telah bercerai memang patut cemas akan nasib anak-anak mereka. Namun, belum pasti bahwa semua anak yang menjadi korban perceraian akan menjadi pribadi yang kurang baik.
Peran orang tua, baik yang mengasuh maupun yang tak lagi tinggal serumah dengan anak-anak korban perceraian amatlah penting. Laman verywellfamily.com memberi nasihat berikut bagi orang tua anak-anak pasangan suami-istri yang telah bercerai

1. Jadilah “orang tua bersama” dalam damai

Meski tak lagi serumah dan tak lagi berstatus sebagai suami-istri, hendaknya mantan suami-istri tetap rukun dan menjadi “orang tua bersama”. Bapak dan ibu yang telah bercerai hendaknya berhenti bertengkar. Penelitian membuktikan, perselisihan yang ditampakkan secara verbal dan fisik antara mantan pasangan suami-istri membuat anak-anak tertekan dan sedih. Pada akhirnya, situasi ini dapat memicu anak-anak melakukan kenakalan dan kejahatan.

2. Jangan jadikan anak sebagai rebutan afeksi
Sebaiknya jangan menjadikan anak sebagai objek rebutan kasih-sayang. Hindarilah pertanyaan seperti: “Siapa yang lebih kamu sayangi: Bapak atau Ibu?”. Pertanyaan semacam itu membuat anak-anak berpikir bahwa salah satu dari orang tua mereka tidak pantas lagi disayangi. Anak-anak yang terjebak dalam situasi perebutan afeksi sering mengalami depresi dan kecemasan berlebihan.

3. Pertahankan relasi sehat dengan anak-anak
Komunikasi yang terbuka dan sehat antara bapak dan ibu serta anak-anak dapat membantu anak-anak untuk membangun citra diri positif dan meraih prestasi akademik yang baik juga setelah terjadinya perceraian. Komunikasi yang tetap hangat antara bapak dan ibu yang telah bercerai juga membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan situasi pascaperceraian dengan lebih baik.

4. Terapkan disiplin secara konsisten
Orang tua yang telah bercerai perlu menerapkan disiplin secara konsisten pada anak-anak. Perlu diterapkan aturan dan sanksi mendidik sesuai dengan usia anak-anak. Sebuah studi dalam jurnal Child Dev. Jan-Feb 82 pada tahun 2011 menunjukkan bahwa penerapan disiplin setelah perceraian terbukti dapat mengurangi kenakalan dan meningkatkan prestasi akademik anak-anak yang orang tuanya bercerai.

5. Awasi remaja dengan cermat
Jika orang tua mengawasi dengan cermat apa yang dilakukan anak-anak remaja dan dengan siapa mereka bergaul, anak-anak remaja korban perceraian akan cenderung menghindari kenakalan. Ini berarti mengurangi risiko penyalahgunaan narkoba dan risiko menurunnya prestasi di sekolah.

6. Memotivasi anak-anak
Anak-anak yang orang tuanya bercerai perlu diberi motivasi agar mereka memandang dirinya bukan sebagai korban yang tak berdaya, namun sebagai pribadi yang juga mampu bertumbuh dengan baik seperti teman-teman sebayanya yang tumbuh dalam keluarga harmonis. Orang tua yang telah bercerai hendaknya mendidik anak-anak dengan menyadarkan mereka bahwa perceraian memang situasi sulit, namun mereka mampu mengatasi kesulitan itu dengan motivasi diri yang kuat.

7. Mengajari anak-anak mengolah perasaan
Mengajari anak-anak untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran secara terbuka adalah cara yang baik agar mereka mampu beradaptasi dengan situasi baru setelah perceraian orang tua. Wajar bahwa anak-anak korban perceraian cemas bahwa orang tua dapat begitu saja meninggalkan mereka, misalnya saat orang tua menikah lagi. Karena itu, orang tua perlu memastikan bahwa anak-anak merasa aman dan dicintai sepenuh hati.

8. Orang tua perlu mengolah emosi dan stres
Anak-anak akan kuat secara mental saat orang tua juga kuat secara mental setelah terjadinya perceraian. Karena itu orang tua yang telah bercerai perlu mengolah emosi dan stres agar mereka sendiri mampu menjadi teladan bagi anak-anak.
Jangan ragu mencari bantuan psikologis pada ahlinya, misalnya dengan berkonsultasi pada psikolog dan mengikuti kursus-kursus pengolahan emosi dan stres.

Wasana kata, perceraian dan perpisahan orang tua memang berdampak negatif pada anak-anak. Akan tetapi, dengan menerapkan kiat-kiat yang tepat, dampak negatif perceraian pada anak dapat dikurangi. Pendampingan yang tepat terbukti dapat membantu anak-anak korban perceraian untuk tumbuh dengan baik dan mampu bersaing dengan anak-anak dalam keluarga yang harmonis.

Penulis: Bobby

Facebook Comments