Melestarikan Jamu bagi Kamu

Saat pandemi berlangsung semua orang berlomba menaikkan atau paling tidak mempertahankan daya tahan tubuhnya dengan segala cara. Olahraga di seputar rumah dilakukan. Makan makanan yang penuh gizi dan minum vitamin dilakukan juga. Yang menarik, orang mulai melirik segala macam rimpang-rimpangan dan dedaunan yang diyakini dapat meningkatkan imunitas.

Masih kental diingatanku saat eyang memperkenalkanku pada minuman kesehatan yang disebut jamu. Ayahku juga sering minta dibuatkan beras kencur saat badannya terasa pegal-pegal. Karena seringnya melihat keluarga meminumnya, aku mulai ikut-ikutan.

Terasa tak enak pada awalnya. Ada rasa getir yang melekat di lidah. Lama-kelamaan, aku suka juga karena ibuku bilang itu minuman sehat.

Kunyit asam dan beras kencur adalah yang paling sering dibuat. Agak takjub aku saat diminta membantu mengupas setumpuk kunyit. Tangan jadi ikut berwarna kuning setelahnya. Atau mencabut beberapa pohon kencur untuk diambil rimpangnya.

Setelah dicuci bersih, eyang menggilingnya menggunakan penggiling yang disebut pipisan. Fungsinya seperti cobek ulekan untuk membuat sambal tetapi bentuknya tidak bulat. Pipisan yang dimiliki eyang terbuat dari batu. Tak kuat aku mengangkatnya karena berat. Persegi Panjang bentuknya, ukurannya bervariasi kurang lebih panjang 40 cm, lebar 20 cm, dan tinggi 10 cm.

Rimpang yang telah dicuci tadi diletakkan di atas pipisan dan digiling menggunakan batu penggilingnya. Bentuk penggilingnya berbeda dengan yang digunakan untuk mengulek sambal. Bentuknya silender dan digunakan secara horizontal.

Saat keluarga pindah ke Jakarta, ibuku tak lagi membuatnya. Selain tak punya pipisan, rimpang yang dibutuhkan agak terbatas di pasar dekat rumah. Selain tak segar, harganya agak mahal. Kami tak punya lahan untuk menanamnya sendiri. Namun minum jamu sudah menjadi kebiasaan. Jika sedang ingin meminumnya, tak habis akal ibuku.

Dia merebusnya, kemudian disaring dan diambil airnya yang tinggal sedikit itulah yang diminum. Tentu saja tak sekental dan semantab jika dihaluskan dengan pipisan jamu.

Akhirnya ibuku menemukan pedagang jamu yang akhirnya menjadi langganannya. Setiap dua hari sekali Mbak Parti dan suaminya berhenti di depan rumah. Jamunya yang masih hangat, menjadi minuman penyegar keluargaku. Mbak Parti menggendong beberapa botol jamu dan termos.

Suaminya mengikuti dengan sepeda yang membawa botol tambahan berisi jamu. Banyak pelanggannya di sekeliling kompleks perumahan. Jamunya cepat habis. Suami Mbak Parti akan pulang dengan sepedanya membawa botol jamu yang kosong. Dia kembali lagi untuk mengantarkan botol-botol yang telah diisi kembali untuk dijual Mbak Parti.

Lama kelamaan, Mbak Parti mulai menerima pesanan juga. Pesanan pembeli dikemas dalam plastik sesuai permintaan. Merasa tak praktis, jamu-jamu itu kemudian dikemas dalam botol plastik bekas minuman yang sudah dicuci bersih. Ibuku menyiapkan botolnya sendiri.

Biasanya dibelinya dua botol besar jamu. Satu botol untuk kunyit asam dan botol lainnya untuk beras kencur. Bila tak harus habis hari itu, sisanya bisa disimpan di lemari es. Segarnya sangat terasa saat pulang sekolah meminum jamu ini.

Bisa jadi kebisaan ini menjadi penyebab aku kurang menyukai minuman ringan yang jenisnya banyak sekali saat ini. Meskipun ada merk terkenal yang membuat kunyit asam dalam kemasan kotak.

Jaman makin berkembang. Di daerahpun, mbok penjual jamu tak lagi menggendong tenggok jamunya. Mereka mulai berjualan dengan mengayuh sepeda. Dirasa merepotkan, jarik – kain – yang dikenakannyapun berubah. Celana panjang digunakan menemani pakaiannya.

Pertimbangan kepraktisan menjadi pilihannya. Tak lagi bakul atau tenggok yang digunakan untuk menempatkan botol-botol jamunya. Perlengkapannya sudah disesuaikan dengan sepeda.

Botol-botol kaca tempat jamu juga punya pilihan baru agar lebih ringan. Botol dari plastik yang bentuknya seperti botol kaca muncul juga. Pemandangan penjual jamu dengan tenggok-pun semakin langka. Mbok jamu yang tua-tuapun makin berkurang, berubah jadi Mbak jamu yang masih muda-muda.

Berkurangnya penjual jamu di perkotaan, membuat generasi dibawahku agak asing dengan jamu. Untunglah, ada beberapa anak muda yang prihatin, takut budaya minum jamu ini hilang. Mereka membuat tempat minum jamu yang cozy. Diharapkan anak muda mampir dan kembali mengenal jejamuan.

Di Jakarta, kini dapat ditemui tempat minum jamu yang didesain cantik dan nyaman serupa tempat minum kopi yang menjamur belakangan ini. Jamupun tak lagi hanya berupa beras kencur atau kunyit asam biasa saja.

Jamu fussion-pun muncul. Ada pilihan jamu saring atau tubruk. Jamu saring tak terlalu pekat, sedang jamu tubruk lebih kental dari jamu saring. Bisa jadi ini disetarakan dengan penyanjian kopi espresso. One shoot atau two shoot (doppio).

Disajikan juga dalam gelas-gelas cantik seperti minuman-minuman non-jamu lainnya. Banyak pilihan bagi pemula minum jamu. Dengan tak mengurangi khasiatnya, jamu bisa dicampur dengan lemon dan madu.

Bila masih kurang suka, bisa memilih dicampur yoghurt atau ice cream. Atau yang dicampur dengan susu, creamer atau santan?. Atau soda? Ada. tinggal pilih saja mana yang sesuai selera. Dingin atau panas, itu juga tersedia. Harganyapun masih terjangkau, meski sudah berada di café jamu.

Jadi, jamu sekarang bisa dinikmati generasi milenial dengan berbagai variasi yang nikmat. Memang tak lagi sama sama dengan buatan eyangku dulu. Variasi jamu modern juga nikmat dan sehat. Tradisional atau modern, tetap memberi efek baik bagi kesehatan. Yang pasti, ini suatu bentuk melestarikan tradisi berharga.

Mari mampir, kujamu kamu dengan nikmatnya ramuan jamu. Badan bugar, pikiran pun jadi segar.

Oleh Winni Soewarno untuk Inspirasianakita.com

Facebook Comments